Suatu hari, saat saya main ke rumah tetangga, tetangga tersebut meminta saya berdemonstrasi ke Bupati Serang. Tetangga saya bukan pejabat (ketua RT, RW dst.). Ia hanya seorang buruh. Saya kaget mendengar permintaannya. Belum selesai rasa kaget itu, ia juga menyarankan agar saya mengerahkan semua teman-teman di kampus saat melakukan request-nya itu.
Apa masalah sang tetangga sehingga merasa perlu meminta saya mengerahkan sejumlah massa? Tidak kebagian raskin-kah dia? Ternyata hanya masalah jalan. Kata tetangga saya, jalan raya di daerah Tambak, Serang Timur, sebelum pabrik Nikomas, rusak parah. Aspirasi yang ingin ia sampaikan ke Bupati Serang—melalui saya—sangat jelas: segera perbaiki jalan rusak itu, karena ia adalah salah satu karyawan di pabrik penghasil sepatu-sepatu berkualitas itu.
Saya hanya diam mendengar permintaannya. Bingung harus menjawab apa. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran tetangga saya. Yang ia tahu (mungkin), salah satu keahlian dan ciri khas mahasiswa adalah berdemo. Dan dengan keahlian itu, mudah-mudahan keinginannya agar jalan raya yang rusak itu segera diperbaiki. Kesimpulan itu saya tarik ketika seringkali ia bertanya setelah menonton berita demonstrasi mahasiswa di Serang yang ditayangkan salah satu televisi. “Tadi demo apa?” atau “Kok tadi gak ikut demo?” Padahal bisa saja yang berdemo bukan mahasiswa di kampus tempat saya kuliah.
Ah, repotnya meluruskan image yang kadong melekat pada kaum yang dianggap intelektual itu!
Dulu, saat baru menjadi mahasiswa, saya memang sering ikut melakukan demonstrasi. Mulai dari menyuarakan berantas korupsi, pertegak keadilan bagi masyarakat, sampai peggalangan dana untuk para korban tsunami di Aceh. Senang dan bersemangatnya bukan main. Membawa dan menggoyang-goyangkan bendera organisasi, adu border dengan polisi, bernyanyi lagu perjuangan, sampai memblokir jalan raya hingga macet. Serasa benar-benar sudah menjadi mahasiswa beneran.
Tapi itu dulu, sebelum pola pikir saya berubah tentang arti dan efektivitas demonstrasi.
Sekarang? Itu tidak lagi saya minati. Saya lebih senang berdemo dengan tuts-tuts komputer dan mempublikasikan unek-unek di media massa. Toh, esensi dari demonstrasi, saya kira, adalah menyuarakan kebenaran. Dan memilih media massa bukan tanpa alasan. Kesempatan diketahui oleh banyak orang termasuk pengambil kebijakan akan terbuka sangat lebar, akan sangat lama bergema, adalah beberapa faktor keuntungannya.
Lalu bagaimana membantu tetangga saya itu? Dengan menuliskannya dan mengirimkan ke koran lokal? Rasanya masalah tetangga saya itu tidak cukup serius. Bahkan bisa-bisa saya ditertawakan. Kenapa demikian? Karena ada jalan yang lebih parah dari itu. Contohnya di terminal Pakupatan Serang. Terminal saja yang menjadi penghubung antar daerah sebegitu diabaikannya tanpa ada beban malu dengan image yang akan timbul, apalagi jalan yang hanya di daerah Tambak. Malu rupanya sudah tidak ada lagi di propinsi sate bandeng ini!
Walaupun saya sampaikan suara hati tetangga saya itu ke media massa, saya juga tidak tahu harus ‘menjewer siapa’. Saya blank siapa yang bertanggungjawab menangani perbaikan jalan. Tapi saya yakin mereka yang berhak mengambil kebijakan tentang masalah ini sangat diharapkan aksinya oleh masyarakat pengguna jalan tersebut, salah satunya, ya... tetangga saya itu.s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar