Setelah lima bulan menunggu, tak pernah kudapatkan namaku di Kompas hari minggu. Ditolakkah semua naskahku? Mungkin ya, tapi mudah-mudahan tidak.
Setiap pulang ke rumah, aku selalu melihat meja di kamarku. Kalau ada surat, ibu dan teteh biasa menaruhnya disana. Sudah beberapa minggu tak juga kudapati surat dari Kompas. Namun aku juga tetap tak melihat naskahku tercetak di media nasional itu.
Dimanakah naskahku? Tidak sampaikah? Mungkin karena saat mengirimkannya akau menaruhnya begitu saja di kotak pos. Aku percaya saja dengan ucapan tukang pos keliling yang suka mangkal di Ciceri. Tidak biasanya memang mengirimkan naskah dengan meletakkannya begitu saja di kotak pos. Biasanya, aku menyerahkannya langsung ke tukang pos lalu distempel langsung.
Aku begitu percaya saja pada tukang pos itu. Bisa saja ia tidak mengambil surat dalam kotak pos meski ia mengaku setiap hari selalu memeriksa kotak-kotak pos yang ada di Serang. Atau petugas pos sengaja tidak mengirimkan suratku karena belum ada stempel sehingga prangko itu ia copot untuk dipergunakannya di lain waktu.
Tidakkah aku telah berburuk sangka? Aku hanya khawatir saja sebenarnya kalau-kalau naskahku tidak sampai ke meje redaksi Kompas.
Betapa membanggakan jika namaku terpampang di Kompas. Tinggal dua naskah yang aku harapkan akan tembus. Sedangkan naskah pertama sudah dikembalikan padaku satu bulan lalu. Kenapa keduanya sama-sama belum dikembalikan? Padahal keduanya aku kirim dengan jarak satu minggu. Hilangkah?
Dan saat pulang kemarinlah aku melihat ada dua amlpo berwarna coklat terlentang dengan pasrah di meja kamarku. Aku hafal amplop seperti itu. Surat dari Kompas. Setelah amplop itu kudekatkan ke mataku, aku merasa senang tapi lemas. Senang karena akhirnya naskahku sampai ke meja redaksi namun lemas karena itu pertanda naskahku ditolak.
Amplop itu sudah terbuka. Rupanya ada yang membukanya tanpa seijinku. Entah ibu, kakak atau keponakanku yang bandel. Yang pasti, yang membuka tidak menghargai privasi-ku. Dalam surat, ada catatan yang diberikan redaktur: ceritanya kurang menarik. Terlalu biasa. Atau, bahasanya terlalu kaku!
Kalau begitu, tidak akan ada lagi surat yang kutunggu karena hanya tiga naskah yang kukirim. Aku jadi kangen saat-saat menunggu-nunggu surat dengan perasaan harap-harap cemas. Kalau begitu, aku harus kirim naskah lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar