Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 25 Maret 2008

Hanya Itu Caranya

Saat masih sekolah di pesantren dulu, saya pernah di-test oleh adik kelas. Dia memang pintar, bahkan sangat pintar dan menakjubkan. Bayangkan saja, sejak kelas satu Tsanawiyah selalu juara satu di kelasnya. Bahkan sampai saat ia menge-test saya (waktu itu dia kelas dua Aliyah) juara kelas masih dipegangnya. Padahal sehari-hari, saya dan semua teman-teman di pondok tahu betul ia lebih banyak tidur daripada belajar. Namun nyatanya ia memang beruntung. Teman-temannya—termasuk juga sebagian besar santri—heran melihat keadaan di luar logika tersebut. Kami tahu kemampuan tersebut dapat diperoleh jika ia memiliki suatu ilmu yang dapat menyerap pengetahuan dengan cepat bahkan dengan tanpa belajar: laduni. Dan kami mempercayai ia memilikinya.
Sebagai kakak kelas yang lebih senior, harga diri saya tidak boleh turun gara-gara tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan sang adik kelas meski pun agak gentar juga mengetahui kemampuan laduni-nya. Dan pada akhirnya, saya memenangkan test tersebut.
Saat itu, ia bertanya dengan nada merendahkan sekali. Seolah-olah yang dihadapinya seorang pelajar SD.
Dalam Al-Qur’an ada berapa juz?” tanyanya masih dengan nada yang merendahkan. Tentu saja itu hanya pertanyaan pemanasan. Atau bisa dibilang mengejek. Sebenarnya, pertanyaan selanjutnya nanti yang lebih berbobot. Ini hanya prolog karena anak SD saja akan dengan sangat mudah menjawab pertanyaan itu. Tapi saya tetap meladeni tantangannya.
Tiga puluh,” jawab saya mantap. Ia tersenyum penuh misteri. Jangan berbangga dulu. Ini hanya kulitnya saja. Begitu kira-kira senyum itu bermakna. Lalu ia pun meneruskan,
Kalau surat dalam Al-Qur’an ada berapa?” Pertanyaan kedua ini agak lumayan. Tapi bagi anak Tsanawiyah atau Aliyah apalagi santri pondok pesantren, tentu akan sangat mudah. Pelajaran agama kan sudah menjadi makanan sehari-hari.
Seratus empat belas,” jawab saya lagi. Rupanya ia bertanya segala hal tentang Al-Qur’an. Ayo mau tanya apa lagi? Batin saya agak kesal. Ia tersenyum. Licik sekali.
Ada berapa basmalah dalam Al-Qur’an?” Karena tiap surat dalam Al-Qur’an diawali dengan basmalah, tentu saja jumlah basmalah pun akan sama dengan jumlah surat dalam Al-Qur’an.
Seratus empat belas,” jawab saya. Adik kelas saya tersenyum seolah mendapatkan buruannya terjerat dalam perangkap yang ia pasang selama ini.
Kan ada salah satu surat dalam Al-Qur’an yang tidak ada basamalah-nya!” ujarnya mengingatkan. Saya tahu dia memulai perangkapnya dengan mengungkapkan fakta tersebut. Dan itu memang benar. Ada satu surat yang tidak didahului basamalah di dalamnya yaitu surat At-Taubah. Sekarang saya tahu arah permainannya.
Bagi yang tidak jeli atau kurang belajar (wih sombong amat, ya? He-he..) saat diberi tahu fakta ‘jebakan’ begitu pasti akan meralat jawabannya. Inilah yang diharapkan adik kelas saya. Tapi dia terlalu menganggap remeh yang dihadapinya. Mungkin ia mengira saat pelajaran Tafsir di kelas dulu, saya tertidur. Atau sakit sehingga pelajaran tentang jumlah basmalah dalam Al-Qur’an tidak saya ketahui. Saya tahu jawabannya dengan sangat yakin. 100% benar!
Saya tetap menjawab bahwa basmalah berjumlah seratus empat belas. Kenapa begitu? Memang benar ada salah satu surat yang tidak ada basmalah-nya, tapi dalam surat Sulaiman, di salah satu ayatnya ada kalimat basmalah.* Dengan tambahan itu, berarti jumlah basmalah tetap seratus empat belas.
Pada akhirnya, adik kelas saya mengakui kekalahannya. Atau mungkin kehebatan saya he-he... entahlah! Yang pasti, dua-duanya benar he-he...
NARSIS!
Teman adik kelas saya yang ada di sampingnya, tiba-tiba nyeletuk,
Dia kan kakak kelas kita, ya lebih tau lah daripada kita,” ucapnya sambil berlalu. Saat itu, saya masih ingat sangat bangga dan tersenyum penuh kemenangan. Namun sekarang—setelah enam tahun berlalu—saya baru menyadari ada hal menarik minat saya membahas kejadian itu lagi.
Saat menulis tulisan yang sedang Anda baca ini, terus terang saya sudah tidak dapat berbangga lagi dengan kemenangan saya tempo doeloe. Kenapa sebab? Ya, wajar memang kalau saya dapat menjawab karena ilmu itu sudah saya dapatkan dulu sebelum adik kelas saya mempelajarinya. Dan kenyataan itu tidak lagi membuat saya bangga. Sekarang, saya baru akan bangga ketika ada adik kelas yang menge-test saya tapi saya tidak dapat menjawabnya. Bahkan, adik kelas saya itulah nanti yang akan menjawab serta menerangkannya kepada saya. Artinya, meskipun umurnya masih di bawah saya, namun ia bisa menjadi pintar dari saya. Akan sangat luar biasa bukan?
Kemudian saya juga berpikir betapa terbatas ilmu dan kemampuan yang dimiliki seorang pelajar jika hanya mengandalkan pengetahuan dari guru saja. Seorang guru memiliki pengetahuan terbatas. Mungkin ia hanya paham betul dengan apa yang diajarkannya. Sebatas itu saja. Tak jarang juga, apa yang diajarkan selalu yang itu-itu saja kepada semua orang. Tidak ada pengetahuan baru, wawasan baru, ide baru, dst. Pendeknya, guru memiliki pengetahuan terbatas.
Di titik inilah para pelajar seharusnya sadar dan lebih banyak menggali ilmu dari membaca buku. Sekarang ini sudah banyak sekali buku-buku diterbitkan dengan segala macam tema. Ada sastra, politik, budaya, kesenian, sains, agama dst. Banyak buku yang kita baca, banyak tahu kita tentang sesuatu. Bahkan kita dapat lebih mengerti tentang sastra, misalnya, ketimbang kakak kelas kita bahkan guru kita yang mengajar matematika karena kita sering membaca novel, cerpen dan karya-karya sastra lainnya. Alangkah membanggakan dan menyenangkan saat kita mengetahui sesuatu sedangkan teman atau kakak kita tidak tahu dan kita sendiri yang mengajari mereka? Berarti kita selangkah lebih pintar dari mereka.
Contoh kehebatan membaca sudah pernah saya temukan dalam perjalanan hidup ini. Saya memilik teman yang mahir sekali dalam komputer. Padahal sebelumnya, memagangnya saja ia jarang. Apa dia kursus komputer? Tidak! Kalau kursus, ya... wajar kalau akhirnya dia pintar dalam pengopersian komputer. Apa dia bertanya kepada teman-temannya? Tidak. Bahkan orang-orang di sekitarnya yang sekarang belajar komputer kepadanya. Lalu kenapa? Dia ternyata rajin membeli buku tentang komputer atau browsing di internet. Membacanya, mempraktikkannya. Lama-lama dia mahir.
Ya...membaca kuncinya. Hanya itu caranya kalau kita mau selangkah lebih maju.
*Innahu min sulaimana wa innahu bismillahirrahmanirrahim....al-ayah. (Q.S. Sulaiman)
Serang, 16 Maret 2008 Pkl.04:00

Tidak ada komentar: