Rabu, 23 April 2008
Kearifan Lokal dan ketidakarifan Saya
Ketika melakukan sholat Jum’at, kaki saya beberapa kali suka menyentuh kepala seseorang di belakang saya saat melakukan sujud. Ini membuat saya tidak enak hati dan merasa berdosa meskipun orang di belakng saya mungkin menganggap hal itu sebagai hal yang lumrah.
Apalagi, setelah tahu bahwa orang yang ada di belakang adalah orang yang lebih tua daripada saya. Beberapa dari Anda juga saya kira pernah mengalami hal serupa. Kejadian ini biasa terjadi antara lain karena shof, barisan dalam sholat, terlalu padat. Ingin sebenarnya saya langsung meminta maaf kepada orang di belakang saya. Tapi tentu saja Tuhan melarang saya karena masih dalam keadan sholat.
Maka, setelah sholat baru saya dapat memohon maaf dengan menyalaminya. Dalam hati, saya suka bergumam, untung ada kebiasaan salaman setelah sholat. Kalau tidak ada, saya harus meminta maaf secara resmi dan saya agak malas melakukan itu.
Ya, mungkin saja kebiasaan bersalaman itu diciptakan—saya tidak tahu apa oleh agama atau oleh adat—sedikit banyak telah memfasilitasi manusia ‘berdosa’ agar mudah melakukan maaf. Dan saya, salah satu orang yang benar-benar merasa beruntung dan diuntungkan dengan itu. Dan kalau dugaan saya itu benar, maka orang-orang tua dulu yang membuat kebiasaan itu sungguh telah membuat master pice yang sangat cerdik. Sungguh sebuah kearifan lokal.
Di lingkungan, dimana saya tinggal, dan sejauh yang saya tahu, kebiasaan ini sudah mengakar dalam masyarakat. Tidak hanya orang yang berada di belakang saja yang disalami tapi juga mereka yang berada minimal di samping kanan-kiri dua orang dan depan sebanyak dua orang.
Apa yang dapat dijadikan alasan untuk mereka yang berada di samping melakukan salaman? Pertama, mungkin karena mereka adalah orang yang paling dekat dengan saya. Kedua, mungkin mereka melihat gerakan sholat saya tidak sesuai dengan apa yang ia pahami selama ini. Atau mungkin ia menahan-nahan dengan kesal saat menghirup napas saya yang kurang wangi.
Nah, di saat terjadi insiden seperti itu, saat saya tidak tahu kesalah/ dosa yang saya perbuat terhadap orang yang berada di samping saya, saya bisa meminta maaf.
Lalu, apa saya juga pernah melakukan kesalahan kepada mereka yang di depan? Agak jarang. Paling-paling saat kepala saya tersentuh orang yang di depan. Memang kepala saya yang ‘dipoles’ tapi perasaan mereka juga akan sedikit banyaknya tidak nyaman dengan yang terjadi. Atau merasa berdosa juga seperti saya. Untuk itu, salaman memberikan kesempatan kepadanya meminta maaf atas apa yang ia lakukan pada saya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar