Rabu, 23 April 2008
Yang Harus Dilakukan, Minimal Sekali dalam Seminggu Oleh Kita
Setelah terdengar ucapan Innallaaha wa malaikatahu yusholluuna ‘ala al-nabi. Yaa ayyuha al-ladzina aamanuu shollu ‘alaihi wa sallimu taslimaa dari sang muadzin, seseorang bergerak maju. Menaiki mimbar. Lalu mengucapkan salam kepada jamaah Jum’at.
Setelah itu, muadzin mengucapkan, idza sho’ida al-khotibu ‘ala al-mimbar fala yatakallamanna ahadukum. Faman yatakallam faqod laghoo. Wa man laghoo falaa jum’ata lah. Ini adalah seruan bagi semua yang melakukan sholat Jum’at pada waktu itu. Jika diartikan secara bebas, artinya kurang lebih adalah, jika seorang khotib telah berdiri diatas mimbar, maka janganlah kalian berbicara. Yang berbicara, ia telah laghoo. Siapa pun yang laghoo, maka tidak mendapatkan Jum’atnya.
Tidak semua daerah di Banten membiasakan seruan seperti itu seperti di daerah saya, Warung Selikur. Padahal kebiasaan ini dapat menjadi peringatan bagi manusia yang sering lupa agar sempurna sholat Jum’atnya.
Begitu jelas dan tegas konsekwensi yang harus diterima bagi mereka yang melalaikan seruan itu dengan ancaman tidak mendapatkan sholat Jum’at. Penafsiran kalimat “tidak mendapatkan Jum’at” bisa jadi berbeda. Mungkin maksudnya adalah tidak mendapatkan pahala sholat atau tafsirannya adalah tidak sempurna sholatnya atau—yang lebih ekstrim— tidak akan diterima sholatnya.
Saya ingat betul pelajaran dalam menaati perintah diam saat khotib sudah diatas mimbar yang saya dapatkan dari pesantren dulu. Dan dengan pemahaman dan ketaatan yang saya jaga selama ini, saya tidak menanggapi komentar Malik yang ada di samping saat ia menertawakan sang khotib yang lupa sewaktu mengemukakan dalil dari Al-Qur’an.
Kenapa semua orang harus diam saat khotib sudah di mimbar? Dan begitu sangat pentingkah apa yang akan dikatakan oleh sang khotib sehingga harus diancam dengan tidak mendapatkan Jum’at jika melanggar?
Mungkin yang diinginkan Tuhan adalah kita mencoba ‘mendengar’ satu kali saja, minimal, dalam seminggu. Mendengarkan nasihat keagamaan. Karena biasanya, termasuk saya sendiri, suka bosan dengan khotbah-khotbah yang selalu dijejalkan oleh ustadz-ustadz, mubaligh, atau para kiyai. Apalagi saya termasuk sudah agak lama mengecap dunia keagamaan di pesantren. Dan bagi orang-orang semacam saya, maka harus ditekan. Kalau dibiarkan saja seperti layang-layang putus: bablas!
Atau penekanan agar kita jangan kebanyakan berbicara. Sekali –kali harus ‘mendengar’. Karena mungkin, anjuran mendengar saat ada khotib bicara, adalah sindiran halus bahwa manusia memang tidak selalu sungguh-sungguh mendengarkan jika ada lawan bicaranya ngomong. Apalagi kalau yang diomongkan adalah nasihat keagamaan.
Serang, 18 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar