Sebuah bus berjalan pelan sambil sesekali terdengar suara sang kenek mengajak penumpang naik ke dalam. “Serang. Merak. Serang. Merak.” Dari arah kursi belakang, tiba-tiba dua orang lelaki berusia sekitar 27-an maju ke depan bangku penumpang. Salah seorang darinya berkata, “Kami hanya ingin mengetuk hati Anda. Kami mengetuk jiwa sosial Anda sekalian untuk berpartisipasi. Hati-hati barang bawaan Anda. Jaga ha-pe dan dompet Anda. Mudah-mudahan Anda selamat.”
Saya mengira, setelah mengucapkan itu mereka berdua akan bernyanyi dengan bertepuk tangan. Atau bercerita tentang kemalangan mereka dalam hidup sehingga penumpang iba lalu memberi alakadarnya sebagai partisipasi atau sodaqoh. Tapi kali ini tidak. Mereka berdua hanya mengatakan kalimat di atas, setelah itu mando, menengadahkan tangan kepada penumpang berharap diberi uang.
Salah seorang penumpang yang diminta mengatakan tak memiliki uang. “Seribu aja kalo gak ada mah,” kata salah satu lelaki itu dengan nada memaksa. Padahal penumpang tadi mengatakan berkali-kali tak punya uang. Karena ketakutan, atau khawatir akan terjadi masalah, akhirnya penumpang itu memberikan uang seribu. Penumpang lain yang masih remaja, mendapat teguran yang tak kalah galaknya setelah mengatakan tak memiliki uang sebagai alasan tidak memberi. “Kenapa tadi ngeluarin duit kalo nggak ngasih?” “Bener nggak ada duit, Bang,” katanya menjelaskan, khawatir ada salah paham. “Ya udah jangan ngeluar-ngeluarin duit dong!”
Saya yang berada di belakang penumpang yang diminta paksa tadi merasakan kengerian juga. Bagaimana tidak, saat ada yang memerlukan pertolongan, para penumpang lebih memilih aman dengan membiarkan pemerasan itu berlangsung dengan bebas. Bahkan sopir dan kenek pun berbuat sama. Semua diam. Tak ada yang sekedar menegur. Mungkin semua yang berada di mobil sama takutnya dengan saya. Betapa mengerikan berada pada lingkungan seperti ini. Saat semua orang tahu akan kebatilan namum tidak mau mencegah apalagi melarangnya karena takut jiwa akan terancam karenanya.
Saya jadi teringat cerita seorang teman yang baru saja pulang dari studi S2nya di Belanda beberapa waktu lalu. Ia bilang, di Belanda angka kriminalitas sangat rendah. Kenapa? Karena negara telah memenuhi perut warganya. Bukan cuma pekerja yang digaji setiap bulan, bahkan pengangguran pun digaji. Jika dirupiahkan, gaji pengangguran di sana bisa mencapai jutaan rupiah. Jika para pengangguran di sana rajin menabung, mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri. Maka, tak ada alasan bagi warga negara di sana berurusan dengan hukum. Negara sangat berhak menangkap warga jika melanggar peraturan karena negara telah memenuhi kebutuhan setiap hari mereka.
Kehidupan di sana digambarkan teman saya penuh dengan disiplin, teratur. Sebagian besar warga taat pada hukum. Tak ada pengendara motor memakai trotoar untuk pejalan kaki sebagai jalan pintas. Tak ada kendaraan umum—kereta atau bahkan bus—yang telat atau mendahului jadwal yang sudah ditentukan. Tak ada yang membuang sampah di sembarang tempat. Saking taatnya, sampai-sampai untuk menebang sebuah pohon di depan rumah sendiri pun seorang warga mesti minta izin dahulu kepada pemerintah.
Alangkah mencolok perbedaan yang terjadi di negeri ini, kata teman saya. Di Indonesia, ia tak berani berjalan di jalan raya karena para pengendara mobil dan motor dengan seenaknya saja ngebut tanpa mempedulikan keselamatan pejalan kaki. Padahal, di Belanda, seorang pejalan kaki sangat dihargai oleh pengendara mobil atau motor.
Barangkali, dua lelaki tadi juga melakukan pemaksaan itu untuk mengisi perutnya. Kita semua tahu kosongnya perut tak dapat ditunda. Ia harus segera diisi jika kosong. Tak ada kompromi. Saat rasa lapar melilit perut dan uang untuk mengisinya tak ada, maka cara efektiv dan cepat untuk memenuhi kebutuhan itu adalah meminta, dengan atau tanpa memaksa. Memeras yang lemah agar dapat memberikan makan perut yang keroncongan. Perut lapar tak akan takut dengan pukulan dan penjara. Bahkan mungkin tak takut dengan kematian. Perut lapar juga tak akan kenyang hanya dengan janji-janji pejabat tentang kemakmuran di masa mendatang. Ia akan terus meronta dan tak akan diam dengan kepalan tangan. Ia hanya akan diam jika sudah diisi.
Serang, 18 Agustus 2008


RSS Feed (xml)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar