Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 03 September 2008

Eksperimen Masa Kecilku

Aku adalah anak yang ingin tahu dan selalu melakukan percobaan-percobaan saat kecil dulu. Ada banyak pengalaman menarik bahkan lucu atau bahkan konyol jika diingat kembali dan diceritakan. Salah satu kejadian konyol yang pernah aku lakukan adalah saat musim ketapel di kampung.

Saat itu, semua teman sebaya membuat ketapel untuk memburu burung. Karena tak memiliki kakak lelaki—yang membuatkan mainan seperti teman-teman yang lain—aku terpaksa harus membuat sendiri mainan tersebut. Lalu aku memilih batang pohon sawo yang bercabang untuk membuat ketapel. Setelah jadi, dan batu kecil-kecil sebagai peluru terkumpul di saku celana (kami meyebutnya obat bukan peluru), saat berburu burung pun dimulai.

Biasanya, kami akan keliling kampung mencari burung. Burung yang lazim ditemukan di kampungku adalah burung gereja. Warna bulu dan sayapnya didominasi coklat. Sarangnya biasa terdapat di daun pohon kelapa. Setelah pulang sekolah aku sudah mengadakan janji dengan teman-teman untuk mencari burung. Namun hingga sore hari, tak satu pun burung kami dapatkan. Jika sudah demikian, maka kami akan menepel apa pun sebagai sarana pelampiasan dan latihan membidik. Sesekali kami menggunakan botol yang dimasukkan di ujung pagar, atau lampu bohlam bekas, atau kami menepel pohon pisang. Hasilnya bisa beragam. Karena objek yang kami bidik adalah benda mati, maka sering juga objek itu kami kenai.

Setelah puas menembak botol, aku berniat pulang. Dalam perjalanan pulang, aku melihat seekor bebek besar. Bulunya hitam mengkilat. Jenggernya yang berwarna merah bertengger di atas kepalanya dengan gagah. Timbul keinginan besar mengadakan eksperimen ‘menembak’ bebek sebagai pengganti burung yang tak kunjung kudapatkan. Lalu, dalam jarak sekitar lima meter, aku telah membidik bebek itu. Seperti halnya kisah pemanah dalam cerita Ramayana, bidikanku telah benar-benar terfokus. Karet ketapel kutarik sementara mata telah mematok sasaran tepat di tengah cabang ketepel. Saat kulepaskan, batu kecil dalam ketepel meluncur kencang mendekati bebek yang sedang tenang makan. Dan…

BUK!

Peluru yang kulepaskan tepat mengenai kepala bebek malang. Tentu aku sangat senang dengan hasil yang membangggakan ini. Ternyata aku mampu melakukannya. Aku behasil mendapatkan objek hanya dengan satu kali tarikan. Betapa membanggakan dan membahagiakan. Setelah mengalami kegagalan memburu burung seharian tak disangka akhirnya terobati juga. Hmm....

Namun kebanggaan dan rasa uporia yang kurasakan mendadak berganti menjadi kekhawatiran dan ketakutan. Bagaimana ini? Bagaimana kalau aksiku tadi ketahuan oleh pemilik bebek? Apa yang harus kulakukan? Aku harus jawab apa nanti ke pemilik bebek? Aku pasti akan mendapat kemarahan besar dari pemilik bebek. Dengan panik aku pulang melarikan diri dan menghilangkan jejak. Di rumah, hati masih tak tenang kalau-kalau pemilik bebek datang ke rumah. Aku juga tak menceritakan nasib bebek hitam itu ke ibu.

Untuk beberapa menit, memang tak ada yang datang ke rumah dan menanyakan keberadaanku. Aku berharap tak ada yang melihat aksiku tadi. Namun harapan itu tak menjadi nyata. Seorang wanita bertubuh gendut datang ke rumah sambil marah-marah. Ia adalah Bu Bedah, sang pemilik bebek.

“Mana si Tohir? Bebek orang maen ketepel saja. Lihat tuh bebeknya mabok,” kata Bu Bedah sambil marah-marah kepada ibu. Aku semakin takut saat ia mendekatiku dan meminta penjelasan.

“Kenapa kamu menepel bebek? Bebek ‘kan bukan untuk ditepel?” tanyanya kepadaku. Aku tak bisa menjawab. Aku telah tertangkap basah. Tak ada lagi tempat untuk mengelak. Ternyata ada yang melihat aksiku tadi.

Dengan pasrah aku jawab dan menceritakan dengan sejujur-jujurnya. Namun kejujuran tak juga menyurutkan kekesalan Bu Bedah. Ia terus saja menyemprotkan seluruh kekesalannya. Habis-habisan saya dimarahinya. Ibu tak membelaku seperti yang dilakukan ibu-ibu teman sepermainanku jika berbuat salah atau dimarahi orang. Ibuku memang begitu. Kalau aku salah, aku yang kena nasehatnya. Begitu juga kalau aku tak salah, beliau selalu mensehatiku bukan menyemprot anak yang menjahiliku. “Makanya, anak nakal kayak itu jangan kamu temani. Jauhi saja,” begitu beliau selalu menasehatiku.

Setelah kejadian bebek naas itu, aku kapok menepel bebek tapi tak kapok memburu burung. Untungnya, bebek yang kena bidikanku tidak mati. Aku bisa sedikit merasa lega.

Kisah itu mengajakan aku bahwa menjadikan bebek tetangga sebagai sasaran latihan ketapel adalah salah besar hehe....




Tidak ada komentar: