Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 19 November 2008

Perempuan dan Permasalahannya

Seorang wanita dengan seorang anak perempuan berumur enam tahun ditemukan terkurung dalam sebuah drum yang ditanam di dapur rumahnya. Sebelum ditanam, drum dicor dahulu dengan semen. Lalu diketahui, kedua korban adalah ibu dan anak yang dibunuh oleh sang suami yang juga merupakan ayah tiri sang anak.
Ini bukan cerita pendek atau sebuah cuplikan film yang saya ceritakan ulang. Peristiwa sadis dan tak dapat diterim akal sehat ini benar-benar terjadi. Kejadian itu berada di Kampung Perigi, Kota Cilegon.
Mungkin jika kita membaca berita semacam itu sekarang, ada rasa muak, jengkel bahkan murka terhadap pelaku pembunuhan. Tapi setelah itu, biasanya, kita akan lupa dan kembali melanjutkan aktivitas seperti tak pernah ada apa-apa.
Pada era reformasi, era keterbukaan informasi, berita-berita kriminal sudah menjadi sarapan pagi dan makan malam. Saking banyaknya pemberitaan semacam itu, mulai dari media cetak sampai elektronik yang mudah dan lebih banyak diakses oleh masyarakat Indonesia, kita sekarang tidak lagi merasa terenyuh lalu melakukan tindakan lebih lanjut. Tersengat sedikit, setelah itu menguap begitu saja ditimpa berita-berita lain yang bisa jadi lebih menyeramkan dan ekstrim dari berita sebelumnya.
Bila diperhatikan lebih cermat, korban kekerasan dalam rumah tangga seperti berita di atas, lebih banyak terjadi pada anak-anak dan perempuan. Sudah banyak diberitakan seorang istri yang dianiaya, bahkan dibunuh oleh suami sendiri. Sudah banyak pula anak yang dianiaya bahkan diperkosa oleh ayah, saudara dekat atau tetangganya, dan tak terhitung berapa banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Begitu juga dengan kekerasan yang banyak terjadi pada pembantu rumah tangga.
Berita yang sempat menghebohkan adalah tentang Ceryati. Kisah pahlawan devisa ini adalah kisah tentang seorang pembantu rumah tangga (di luar negeri) yang nekat turun dari gedung bertingkat, tempat ia bekerja, dengan hanya menggunakan kain yang ia sambung-sambung saking tidak tahan dengan perlakuan sang majikan. Salah sedikit, sang majikan langsung memukul, menyiram dengan air panas, bahkan menggosoknya dengan setrika panas.
Kita sudah kenyang dengan berita-berita semacam itu. Belum lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi pada Tenaga Kerja Wanita kita di Arab Saudi, Malaysia, bahkan di negeri sendiri. Pertanyaannya: kenapa perempuan yang kerap kali menjadi korban penganiayaan?

Faktor-Faktor Penyebab
Beberapa hipotesis akan saya kemukakan dalam tulisan ini sebagai penyebab kenapa sering terjadi kekerasan terhadap perempuan beserta sedikit jalan keluar dalam permasalahan ini.
Pertama, sudah sejak lama, perempuan selalu diidentikkan dengan makhluk lemah. Tidak dapat melawan, dan seterusnya. Dengan melekatnya image inilah para pelaku kejahatan dengan leluasa dapat berbuat semaunya. Pelecehan seksual juga banyak dialami oleh perempuan karena image tersebut.
Kelemahan dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada fisik saja, tapi juga lemah dalam kedudukannya sebagai istri dalam rumah tangga. Sebagai istri, perempuan kebanyakan takut jika dihadapkan dengan pilihan berpisah (baca: cerai) dengan sang suami. Mereka akan lebih memilih diam dan nrimo terhadapa perlakuan suami kepadanya meski merupakan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan pelanggaran hukum. Atau juga perlakuan itu dianggap sebagai kewajaran karena suami adalah pemimpin sekaligus makhluk yang paling berkuasa dalam rumah tangga sehingga istri dituntut harus lebih banyak bersabar.
Selain itu, ada anggapan bahwa masalah keluarga adalah rahasia yang harus dijaga oleh suami-istri. Pandangan ini membuat seorang istri lebih memilih menutupi masalah-masalah dalam rumah tangga termasuk perlakukan-perlakuan kasar yang diterimanya ketimbang menceritakannya kepada orang lain.
Faktor lain yang mendukung image ini juga antara lain pemahaman masyarakat pada teks-teks keagamaan yang menjadi pegangan, yang lebih mengunggulkan laki-laki ketimbang perempuan. Seperti ungkapan bahwa lelaki lebih kuat/ pemimpin atas perempuan, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.” (Q.S. Al-Nisa: 34).
“Pada tataran realitas sosial, pandangan ini sering dijadikan dasar bagi kaum laki-laki untuk melegitimasi tindakan superioritasnya, termasuk kekerasan terhadap kaum perempuan, baik dalam wilayah sosial, politik, ekonomi, ritual maupun domestik.” (Hussein Muhammad, 1999, hal.206).
Atau juga dalil dari sebuah hadits yang menyatakan bahwa akal perempuan di bawah akal laki-laki (Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Haidl, Bab Tark Al-Haid li Al-Shaum), dan dalil-dalil lainnya. Pemahaman masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Hussein Muhammad terhadap teks-teks keagamaan ini akan memperkuat ketidakberdayaan perempuan dan mengekalkan “dominasi lelaki atas perempuan” jika tidak ingin mengatakan memperlebar kesempatan lelaki melakukan tindakan dzolim kepada perempuan.
Solusi yang dapat dipilih adalah membangun image bahwa perempuan dan lelaki adalah sama di hadapan hukum. Sehingga apabila ada tindakan kriminal yang terjadi, perempuan dapat melaporkannya kepada yang berwajib. Dengan begitu juga lelaki atau siapa pun pelaku yang akan berbuat kejahatan harus berpikir dua kali jika akan melakukan tindakan kriminal kepada perempuan.
Kedua, tidak banyak perempuan yang tahu ke mana mereka harus mengadu jika mengalami tindak kekerasan atau pelecehan-pelecehan seksual selain kepada pihak berwajib. Padahal ada beberapa LSM seperti KPAID, BKOW, Rahima, Women’s Crisis Center dan lain-lain yang konsen pada hak-hak perempuan.
Untuk itu, perempuan hendaknya menggali lebih bayak informasi yang dapat diperolah dari organisasi-organisasi tersebut. Seperti Rahima, LSM yang berfokus pada upaya memasyarakatkan hak-hak perempuan dalam perspektif islam.
LSM ini juga sering melakukan kajian-kajian, penelitian dan bedah buku tentang semua hal yang berkaitan dengan kemaslahatan perempuan. Kajian yang pernah dilakukan antara lain adalah kajian tentang boleh tidaknya perempuan menjadi tokoh agama (kiyai) atau tentang khitan bagi perempuan.
Di Banten, begitu banyak sebetulnya majelis taklim- majelis taklim tempat para perempuan menimba pengetahuan (yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga), namun biasanya lebih banyak hanya mengkaji kta-kitab keagamaan klasik dan kurang mengaktualisasikannya dengan perkembangan dan isu-isu yang sedang aktual tentang perempuan seperti kekerasan daalam rumah tangga, traficking, penjualan anak dan perempuan atau isu lain.
Ketiga, kurang maksimalnya pendidikan yang didapatkan oleh mayoritas perempuan. Dari data Biro Pusat Statistik Tahun 2003, sebagaimana dikutip oleh Rena Herdiyani dalam makalah Hak Asasi Perempuan Sebagai Hak Asasi Manusia, menunjukkan bahwa angka buta huruf perempuan sebanyak 10.643.823, sementara itu untuk laki-laki sejumlah 5.042.338, yang berarti terjadi perbedaan angka sebanyak seratus persen.
Penyebab faktor rendahnya pendidikan perempuan ini antara lain disebabkan oleh image yang sudah melekat bahwa perempuan tidak harus memiliki pendidikan tinggi karena pada akhirnya, setelah menikah, akan tetap berada di dapur, kasur, dan sumur. Kurangnya akses pendidikan inilah yang menyebabkan perempuan kurang juga mendapat akses informasi yang meruah bagi dirinya untuk memperjuangkan haknya.
Semangat Kartini mungkin dapat menjadi inspirasi, meskipun istilah ini terdengar sudah basi, bagi para perempuan bagaimana memanfaatkan pendidikan. Bagaimana saat itu Kartini mempergunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berdiskusi tentang perempuan dengan teman-temannya di Belanda melalui surat. Dan tulisan-tulisan inilah yang kemudian melambungkan sosok Kartini dalam sejarah Indonesia.
Rendahnya pendidikan juga bisa disebabkan oleh fenomena kawin muda. Dengan menikah pada usia dini, seorang perempuan akan hilang kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Dan kasus kawin muda lebih banyak lahir dari hasil perjodohan pihak orang tua pada anak perempuannya.
Dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, perkawinan dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan bagian dari warisan tradisi dan dianggap bersifat sakral (Kartasasmita, 1997). Cara pandang inilah yag menyebabkan kawin muda masih terjadi seperti di sebuah desa di Lebak, Banten hingga saat ini. Padahal dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, pasal 71 menetapkan batas minimum usia kawin adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Kawin muda juga sering berakhir dengan perceraian karena pihak perempuan belum matang dari segi usia dalam menghadapi persoalan-persoalan rumah tangga. Perceraian ini pada akhirnya yang akan mengakibatkan kerugian pada pihak perempuan.
Keempat, kurangnya peran perempuan dalam panggung politik. Meski ada peraturan penyediaan kuota bagi perempuan, nyatanya masih sedikit perempuan yang memaksimalkan peluang tersebut. Di Banten sendiri, hanya beberapa saja wakil rakyat perempuan. Mungkin yang paling pouler adalah Marissa Haque dan Atut Chosiyah. Padahal dengan menjadi politisi, perempuan bisa menyuarakan kaumnya sendiri dan membela kepentingan sesamanya. Jalan ini lebih efektif jika disinergikan dengan gerakan-gerakan dalam ormas-ormas dan LSM-LSM yang konsen pada kepentingan perempuan.

Penutup
Sudah saatnya perempuan menyuarakan suara kaumnya. Untuk menuju sasaran itu, kaum perempuan hendaknya lebih aktif mencari informasi hak-hak mereka. Karena hak mendapatkan informasi telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 45 sebagai hak semua warga negara Indonesia. Dengan memiliki banyak informasi, perempuan dapat menegakkan hak-hak yang memang telah ditetapkan oleh negara untuk perempuan. Juga sebagai landasan dalam memerangi tindak kejahatan atau kekerasan yang sering dialami.
Wacana kesetaraan gender—hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia—juga perlu digulirkan secara perlahan ke dalam masyarakat untuk menekan bahkan menghindari diskriminasi terhadap perempuan yang sering terjadi. Dengan harapan kesempatan memperolah hak politik, hukum, dan ekonomi bagi perempuan sama-sama terbuka seperti layaknya laki-laki.
Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar: