Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 19 Desember 2008

Lesunya Minat Baca Mahasiswa


Selama saya kuliah, belum pernah saya temui seorang mahasiswa pun berjalan sambil membaca buku di kampus karena saking gemarnya membaca, misalnya. Di depan kelas, kantin, atau pojok-pojok kampus lainnya seperti Unit Kegiatan Mahasiswa, kegiatan membaca tidak terlalu kelihatan. Padahal dunia kampus yang dikenal dengan dunia intelektual, semestinya dekat dengan buku. Ini adalah harga mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Dari pengamatan kecil yang saya lakukan, kegiatan yang lebih menonjol dan mendominasi adalah mahasiswa yang ngobrol, merokok, becanda, nyanyi-nyanyi dan kegiatan fun lainnya di tempat-tempat umum. Padahal saya ingin juga menyaksikan budaya baca yang sangat luar biasa seperti di Jepang terjadi juga di kampus. Saya tak tahu apakah di kampus lain keadaannya berbalik atau malah sama.
Tampaknya, budaya baca mahasiswa berada pada level yang memprihatinkan. ini juga menguatkan survey yang diadakan UNESCO bahwa pringkat membaca kita, Indonesia, berada di bawah negara-negara tetangga kita seperti Malaysia bahkan Vietnam. Mungkin juga beralasan bahwa lesunya membaca ini adalah pemicu sepinya diskusi-diskusi kecil atau publik di kampus. Padahal, menurut mahasiswa yang sudah alumni, kegiatan diskusi adalah kegiatan yang biasa ditemui di setiap sudut kampus ini dulu. Dan sekarang, itu hanya tinggal cerita indah saja.
Sebenarnya, saya juga sempat merasakan pada awal semester ketika masih mahasiswa baru, ada berbagai diskusi baik yang diadakan oleh organisasi intra kampus atau hanya kumpulan mahsiswa-mahasiswa yang peduli dengan budaya diskusi. Dan semakin ke sini, kampus relatif sepi dari kegiatan semacam itu. Memprihatinkan memang.
Jika di dalam kelas, tempat nongkrong, kosan, bis, angkot, atau di halte belum banyak (untuk tidak mengatakan tidak ada) yang membaca buku, baik buku kuliah atau buku-buku di luar perkuliahan, artinya, membaca belum menjadi kebutuhan kedua mahasiswa setelah kebutuhan perut. Padahal membaca bukanlah kegiatan yang istimewa. Membaca memang semestinya menjadi kebutuhan tiap orang yang ingin mengaktualisasikan diri.
Yang berkembang dalam dunia kampus (saya) saat ini adalah para mahasiswa yang lebih mementingkan kebutuhan akan fashion yang menjadi kebutuhan kedua setelah makan. Mahasiswa lebih suka mengeluarkan uang lebih untuk nge-gaya daripada membeli buku (apalagi yang tebal-tebal). Kecuali, mungkin, saat menjelang menggarap skripsi. Ada yang bilang bahwa budaya baca di Indonesia yang memprihatinkan ini karena kita langsung meloncat dari budaya lisan ke gambar (televisi dan film). Sedangkan negara-negara barat melalui budaya baca dulu baru ke gambar.
Bisakah kelangkaan minat baca ini dikorelasikan dengan mengapa mahasiswa saat ini lebih suka menggunakan otot ketimbang otak? Bisa saja. Karena membaca adalah proses mengolah informasi menjadi pengetahuan dan intelektual. Namun ternyata kegiatan membaca tidak berhenti di sana. Proses membaca seharusnya sampai pada titik dimana wisdom akan didapat. Sehingga, mereka yang sudah sampai pada tahap ini, akan lebih bijaksana dalam berbuat. Ia akan lebih mengedepankan otak dan nurani ketimbang kekerasan dalam menghadapi permasalahan hidup.

Menciptakan Iklim Membaca
Meski budaya baca di kalangan mahasiswa memprihatinkan, namun bukan berarti menjadi harga mati sehingga tak dapat diubah. Atau minimal digeser sedikit saja. Karena persoalan membaca meliputi banyak aspek. Ia tak hanya dipengaruhi oleh mahasiswa sebagai individu, namun juga lingkungan ikut berperan dalam rendahnya minat baca itu.
Meski daya beli mahasiswa akan buku tidak setinggi daya beli mereka terhadap pulsa, misalnya, tidak menjadi tolok ukur sebuah budaya baca di kalangan mahasiswa lemah. Banyak juga mahasiswa (saya umpamanya), jarang membeli buku tapi sering mengunjungi dan meminjam buku di Perpustakaan Daerah Serang guna dapat membaca buku. Atau pinjam kepada teman.
Budaya baca akan menjadi kegiatan yang menyenangkan bahkan membanggakan mankala mahasiswa atau siapa pun merasa dengan membaca ia dapat mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan kata lain, membaca harus menjadi kebutuhan seorang mahasiswa. Lalu bagaimana menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan mahasiswa?
Seorang teman yang pernah belajar di Belanda, pernah bercerita tentang gaya mengajar dosen di sana. Dan cara ini, saya rasa cukup efektiv dalam meningkatkan minat baca mahasiswa. Di Belanda sana, kegiatan belajar mesti dimulai oleh mahasiswa dengan pertanyaan: apa yang mau ia ketahui? Dengan kata lain, dosen tidak menyuruh mahasiswa mesti membaca buku ini dan itu padahal sang mahasiswa tidak ingin mengetahuinya atau tidak memiliki minat sama sekali dengan bidang itu. Sehingga, seolah-olah, mahasiswa hanya mengikuti mata kuliah karena memang itulah yang mesti dilaluinya kalau kuliah. Mahsiswa tidak terlibat secara aktif dengan kesadaran sendiri. Dosen tak peduli betul apakah mahsiswa tersebut suka atau tidak.
Dosen di Belanda, menurut teman saya itu, hanya memberi tahu buku apa saja yang mesti dibaca yang relevan dan sesuai dengan masalah yang ingin diketahui mahasiswa. Dengan begitu kegiatan membaca menjadi sesuatu yang menarik dan menggairahkan karena didasari oleh keinginan pribadi untuk mengetahui sesuatu.
Sejatinya, semua mahasiswa membutuhkan membaca. Kongkretnya, saat akan menyusun makalah atau skripsi, mau tak mau ia mesti membaca banyak buku untuk menyusunya. Hanya saja ada beberapa kendala yang menghalangi. Ketersediaan buku-buku baru di perpustakaan salah satunya. Di Banten, agak susah menemukan perpustakaan yang komplit koleksi bukunya, nayaman tempatnya dan dikelola oleh orang-orang yang profesional. Baik di lingkungan kampus maupun di daerah bahkan kota.
Pengunjung perpustakaan akan bosan kalau sebuah perpustakaan hanya memiliki koleksi buku yang itu-itu saja. Padahal setiap tahun banyak buku-buku baru dicetak. Cepat atau lambat, perpustakaan yang tidak selalu membarui koleksinya akan ditinggalkan. Selain pembaruan koleksi buku, perpustakaan juga harus dirancang sedemikian rupa agar nyaman dipakai pengunjung dan betah untuk berlama-lama membaca. Yang banyak ditemui, perpustkaan berada di tempat yang sempit, berdebu dan panas. Nyaman tidak selalu diartikan dengan mewah. Meski tempatnya sederhana, kalau nayaman akan banyak yang betah membaca buku.
Adakan acara-acara seru seperti temu penulis, musik atau kegiatan positif lainnya di perpustakaan. Selain sebagai perangsang bagi mereka yang jarang ke perpustakaan agar terbiasa dengan buku, kegiatan semacam ini juga dapat menjadikan perpustakaan lebih hidup. Perpustakaan tidak hanya menjadi tempat membaca tapi juga berdiskusi dan berekspresi.
Adakah perlombaan resensi buku. Dengan mengadakan perlombaan resensi, maka mau tak mau mahasiswa mesti membaca buku yang harus diresensi. Bahkan ia mesti membaca buku yang semacamnya untuk menambah wawasannya saat akan melakukan resensi. Saat pembagian hadiah, berikan mereka rangsangan untuk kembali membaca dengan menghadiahkan buku-buku terbaru.
Jam buka perpustakaan juga ada baiknya diperpanjang. Tidak hanya dari pagi hingga sore tetapi sampai malam. Ini akan memberikan banyak pilihan kepada mereka yang punya waktu terbatas pada pagi dan siang hari.
Dengan beberapa hal yang mesti dilakukan di atas, mudah-mudahan kegiatan membaca di kalangan mahasiswa akan membaik dan terus menanjak. Semoga.


*Tulisan ini gue krim untuk lomba karya tulis yang diadain Radar Banten dan bekerjasama dengan Perpustakaan Daerah Banten. Alhamdulillah 16 Des 08 tulisan gue terpilih jadi sepuluh artikel terbaik dari 59 mahasiswa yang mengirim dari seluruh kampus di Banten. Gue tinggal konsen buat Sabtu besok wat presentasi. Mudah2an gue menang. Emang dari awal niat gue seh biat dapet komputer jadi bisa bantu ortu.

1 komentar:

Tanmalika mengatakan...

bokis mulu lo, lebai! seolah kampus IAIN isinya manusia bodoh semua. padahal banyak juga yang ceerdas, yang doyan baca, dan lainnya. bahkan temen2 deket lo juga bada doyan bannget baca. w tersinggung...