Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada April 2009 nanti, para politisi mulai dari caleg, capres dan cawapres pastinya akan saling berlomba tebar pesona dan pengaruh dalam menggaet suara para pemilih nanti. Ada yang menitikberatkan “memancing” pada para pemilih pemula, ada yang mengkhususkan diri ke generasi muda, rakyat kecil dengan menawarkan harga sembako, pendidikan murah, pelayanan kesehatan gratis dan seterusnya.
Dan stiker, liflet, bendera, baliho, pamflet, kaos pun dicetak besar-besaran. Ratusan juta terbuang. Sejumlah tempat yang dianggap bisa diakses banyak orang menjadi sasaran pemasangan dan penempelan. Bahkan tempat-tempat yang tak semestinya juga menjadi sasaran tempat pemasangan. Akhirnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpo PP) pun terpaksa turun tangan menertibkannya.
Maka, tak mengherankan bila banyak baliho, liflet, pamflet, yang terpajang berjejer, menumpuk, bahkan saling tindih demi dilihat banyak pemilih. Harapannya, semakin banyak yang tahu mudah-mudahan semakin banyak yang akan memilihnya nanti di Pemilu.
Cara yang lebih tertib, sopan, dan lumayan modern—karena memiliki dana lebih untuk kampanye—adalah dengan memasang iklan di media massa baik di koran, majalah, tabloid, bahkan buletin. Ada yang memasang di iklan kuping sebuah koran, di belakangnya, di dalam, bahkan Presiden SBY sempat membuat trobosan yang menggemparkan saat memasang iklan Partai Demokrat di setengah halaman paling depan di Kompas.
Tidak Kreatif
Bagaimana rupa iklan para politisi kita baik yang menggunakan cara konfensional atau yang sudah lumayan modern? Rata-rata, iklan, pamflet, stiker, atau baliho itu hanya berisi gambar calon dengan senyum “manis” disertai kata-kata, “Mohon doa restu dan dukungan.”, “Saatnya yang muda mengabdi.”, ”Mendengar aspirasi rakyat.” “Pilihan tepat.”, dan semacamnya. Atau membuat iklan advetorial. Tapi dalam iklan-iklan itu ternyata tak ada yang mencantumkan visi misi sebagai pencapaian yang diinginkan. Atau target yang akan diperjuangkan nanti ketika terpilih.
Jika cara yang ditempuh oleh sang caleg hanya cara semacam ini tentu saja dalam mempromosikan dirinya akan beresiko ada penilaian bahwa sang calon tidak memiliki visi misi jelas. Langka ide. Miskin trobosan. Tidak kreatif. Tidak konkret. Hanya bermodal tampang, gelar akademik atau keagamaan. Bagaimana ia akan bekerja jika tidak ada target-target yang ditetapkan untuk memperjuangkan rakyat. Apalagi calon yang termasuk pendatang baru dalam dunia politik yang tidak banyak diketahui background dan track record-nya.
Padahal, jika dipikir kembali, sarana-sarana atau atribut kampanye yang dipajang di tempat-tempat umum itu sesungguhnya dapat menjadi penyambung lidah yang dapat berinteraksi langsung dengan rakyat. Dengannya juga hati pemilih bisa diambil. Agak mubadzir saya kira jika sarana-sarana dan atribut kampanye yang sudah dibeli dengan harga mahal itu jika hanya diisi dengan gambar wajah dan permohonan doa dan dukungan—ucapan yang sudah sering dipakai banyak orang dan sudah sangat amat klise dan membosankan didengar.
Menulis di Media Massa
Jika Barack Obama menggunakan facebook untuk menggalang dukungan bahkan dana saat kampanye, maka capres atau caleg di Indonesia bisa menggunakan media massa. Warga Indonesia memang tidak begitu banyak pengguna internetnya dibanding media massa. Oleh karena itu, media massa menjadi alat yang lebih efektif jika digunakan caleg untuk mempromosikan idenya. Tentu akan lebih elegan apa yang akan “dijajakan” kepada para pemilih di media massa tidak hanya visi misi tapi juga gagasan dengan media tulisan di media massa. Tulisan akan lebih lama menggema dalam hati para pembaca. Bisa dikaji, diperdebatkan dan direnungkan. Seorang penulis mengatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Ya, keabadian ide.
Sayangnya, menulis bukan perkara gampang.
Memang tak ada yang bilang bahwa menulis itu gampang. Mungkin hanya seorang Arswendo Atmowiloto saja yang bilang begitu dalam bukunya Mengarang Itu Gampang. Itu juga menulis atau mengarang karya fiksi. Lebih jelasnya, cerpen alias cerita pendek. Karenanya, tidak banyak yang dapat menulis di media massa. Tidak politisi, guru, tokoh agama, mahasiswa, bahkan dosen pada kebakaran jenggot jika mesti menulis di media massa. Meski mereka adalah orang-orang yang dekat dengan dunia tulis menulis namun pada kenyataannya tak banyak yang bisa memunculkan namanya di media massa dengan ide-idenya. Bahkan di kampus saya, ada seorang dosen yang vokal dan mantap kalau bicara namun mengaku kapok mengirimkan tulisannya karena sering ditolak pihak redaksi.
Karena itulah caleg yang bisa atau bahkan biasa menulis di media massa akan mendapat penghargaan atas intelektualitasnya yang tertuang itu. Mereka yang menulis menunjukkan mereka adalah orang yang cerdas sekaligus peka terhadap lingkungannya. Karena semua penulis selalu lahir dari mereka yang bergaul mesra dengan buku dan juga peka dengan lingkungan. Karenanya, mereka akan selalu menghasilkan tulisan yang mengangkat isu-isu yang terjadi di sekeliling, negara, bahkan dunia. Maka, tak ada penulis yang melahirkan karya namun berangkat bukan dari realitas.
Jika kita perhatikan, hanya sedikit saja dari para caleg yang akan maju pada Pemilu mendatang yang aktif menulis (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali). Kalau ada penelitian, mungkin akan lebih banyak caleg yang mengisi pundi-pundi wong cilik dengan fulus dibandingkan dengan gagasan. Karena memang tidak mudah menuangkan gagasan dalam sebuah tulisan. Lagi pula, membagi-bagikan uang lebih mudah dan cara demikian itu biasanya manjur untuk menggoyahkan pendirian. Walaupun harus cepat-cepat saya tambahi di sini bahwa rakyat hari ini sudah banyak yang melek dengan dunia politik. Sudah banyak yang pintar.
Lalu, bisakah kelangkaan penulis dari para politisi menunjukkan mereka tidak peduli dengan lingkungannya, dengan warganya, dengan kita? Perlu kajian yang mendalam memang untuk menjawabnya. Namun saya percaya bahwa Anda juga telah memiliki jawaban atas pertanyaan tadi.
Artikel ini aku kirim artikel ini 17 Januari 2009 dan diterbitin Radar Banten, 24 Januari 2009 lalu. Alhamdulillah. SMANGET!
Rabu, 21 Januari 2009
Kenapa Caleg Tidak Menulis?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar