Jika Barack Obama gencar melakukan kampanye dengan media ramah lingkungan, juga agak canggih, politisi kita masih menggunakan media konfensional yang hanya menghasilkan sampah; spanduk, stiker, baliho, bendera dan seterusnya yang terkadang tidak mengenal etika dalam pemasangannya.
Cara yang digunakan Barack Obama saat kampanye dengan internet adalah cara yang elegan dan lebih menjaga kelangsungan lingkungan (paling tidak ikut berperan tidak menambah jumlah kubik sampah) di Amerika. Cara ini juga bisa dinilai sebagai gerakan untuk ikut berperan aktif dalam menjaga bumi di tengah isu pemanasan global (global worming) di satu sisi, dan di sisi lain karena angka pengguna internet di Amerika memang cukup besar.
Melalui facebook dan situs dirinya—dibantu oleh sang pemilik Microsoft—Barack Obama mampu meyakinkan pemilih di Amerika Serikat untuk mendukung dirinya. Bahkan ia bisa meraih 50 persen lebih suara dari suara yang ditetapkan. Kegiatan di dunia maya itu tidak terbatas hanya menjaring dan menggalang pendukung tapi juga menggalang dana untuk kampanye wakil dari Partai Demokrat ini.
Sementara di Indonesia, para politisi masih menggunakan cara yang tidak banyak berubah dari semenjak pertama kali diadakan Pemilu di negara ini. Mereka, para politisi itu, dengan cara kampenye sekarang bukan menjaga lingkungan malah mengotori dan merusaknya. Tempat-tempat publik ‘habis’ karena dipaksa menampung berbagai macam atribut partai. Pada akhirnya, apa yang mereka lakukan adalah juga (sengaja atau tidak) merusak pemandangan yang semestinya indah.
Mulai dari yang kecil semisal stiker, sampai baliho yang segede alaihim gambreng menyergap kita. Dan yang tak kalah banyaknya—dari atribut partai politik itu—yaitu bendera partai. Selain pada narsis memajang foto dirinya entah sebagai capres atau caleg di poster-poster, mereka juga memperkenalkan partai barunya atau mempopulerkan lagi partai lamanya. Tiap tempat menjadi sasaran pemasangan atribut ini. Jembatan penyebrangan, rumah, plang pesantren, rambu-rambu lalu lintas, tiang listrik, papan reklame, bild board, pohon, bahkan triple light telah ditumbuhi bendera-bendera partai.
Di sepanjang jalan Sudirman dan Ahmad Yani di Serang, bisa menjadi contoh tempat bagaimana bendera-bendera itu berkibar di semabarang tempat dan berjejal saling menonjolkan diri. Apalagi di perempatan Ciceri, Serang. Rasanya, tak ada jarak satu meter pun yang tidak dipasangi bendera partai. Jika dihitung, saya yakin akan kita dapatkan jumlah yang fantastis. Paling tidak akan terkumpul ratusan bendera. Belum lagi jika ditambah bendera-bendera di jalan Bayangkara, Letnan Jidun, Abdul Hadi, dan seterusnya.
Mungkin hanya tiang atas Asmaul Husna yang terbebas dari bendera partai. Sedangkan di bagian bawah taing Asmaul Husna memang sudah ditempeli bendera. Untung tiang Asmaul Husna belum dikotori bendera-bendera partai yang egois karena tidak memperhatikan keenakan pemandangan itu. Para pemasang bendera itu mungkin tidak sadar apa yang mereka lakukan semakin merusak tata ruang yang sudah semakin tidak sedap dipandang setelah dipasang bild board iklan.
Pada tahap ini, semestinya pihak-pihak pengambil kebijakan di sebuah partai politik mengingatkan para pemasang atribut partai itu untuk juga tetap memperhatikan tempat yang akan dipasangi atribut partai. Mereka yang memasang bendera (secara logika) mestinya orang kecil. Orang suruhan. Kalaupun bukan, berarti ia adalah simpatisan partai. Karena posisi dua mcam orang ini sangat rentan untuk ingin membahagiakan pihak partai, mestinya ada himbauan dari partai terkait tata cara pemasangan atribut partai. Jika yang menghimbau orang partai (apalagi tetingginya) pasti ucapannya akan sangat berpengaruh.
Rasanya tidak mesti kita menunggu penafsiran jalan yang seperti apa yang dimaksud dalam undang-undang sebagai jalan protokol bila hanya ingin mengetahui jalan mana yang tidak boleh dipasangi atribut partai. Begitu juga tidak mesti diberi tahu bila memasang bendera partai di sembarang tempat adalah tidak etis. Atau tak perlu menunggu Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dibantu Satpol PP bertindak tegas dengan mencopot bendera-bendera itu.
Cukup pakai logika dan rasa saja. Mereka yang halus hatinya, mestinya merasakan betapa merusak ruang publik sebagai tindakan yang egois dan tidak etis.
Asmaul Husna
Sepanjang yang saya tahu, hanya ada dua kota di Banten yang jalan rayanya dihiasi Asmaul Husna. Asmaul Husna di Kota Serang dan Tangerang. Sedangkan di Pandegalng dihiasi tiang-tiang hadits. Ini tentu memiliki semangat pesan untuk mengajak masyarakat untuk selalu meningkatkan iman dan taqwa dan berakhlakul karimah sebagai slogan dua kota di Banten itu. Juga sebagai spirit penegas bahwa Pandeglang memang Kota Santri.
Mestinya, simbol-simbol keagamaan itu tidak hanya dipandang sebagai benda yang mati dan hanya penghias saja. Ia harus ditempatkan pada posisi “sesuatu yang berbicara”. Sehingga setiap kali melewatinya, kita seolah-olah diajak berdialog. Mungkin suatu hari tiang-taing itu akan brbicara kepada kita atau bertanya, “Sudah sholat belum?” Atau ia akan bertanya dan berbicara dengan pembahasan yang lain lagi.
Begitulah semestinya tiang-tiang Asmaul Husna itu diperlakukan. Jika semua masyarakat sudah memegang pemahaman itu, maka tidak ada yang akan memasang atribut-atribut partai dengan sembarangan, membuat kecurangan, atau memakan uang rakyat karena tiap kali melewati tiang-tiang itu, ia sadar bahwa ada Tuhan yang mengawasinya.
Jangan sampai bendera-bendera dia atas nama-nama Tuhan dalam tiang-tiang Asmaul Husna itu menjadi sekedar simbol atau bahkan lelucon atas nama Tuhan yang tidak berpegaruh apa pun kepada mereka yang melihatnya. Pada akhirnya, hanya seperti ketaatan di permukaan namun tidak mendalam.
Rabu, 21 Januari 2009
Bendera Partai dan Kesemrawutan Itu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar