Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 01 Mei 2009

Kampanye dan Apatisme Masyarakat


Survey terbaru yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan bahwa 87,8 persen responden memilih tidak mau ikut dalam arak-arakan kampanye (Kompas, 29 Maret 2009). Indikasi golongan putih atau golput meningkat kah ini? Atau juga indikasi apatisme masyarakat terhadapa sistem Pemilu? Padahal Pemilu adalah salah satu produk sistem model demokrasi yang didengung-dengungkan sebagai jalan menuju perbaikan kehidupan.
Bisa jadi memang begitu. Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram golput namun efeknya tidak dapat banyak mengubah apatisme yang sudah terlanjur menyebar di masyarakat. Sumber golput adalah kekecewaan terhadap Pemilu. Banyak kalangan menilai bahwa Pemilu tidak membawa perubahan berarti selain mereka yang terpilih menjadi pejabat memiliki pangkat. Padahal yang menjadi masalah bukan sistem melainkan orang yang menjalankan sistem itu. Mereka yang kurang percaya terhadap Pemilu percaya bahwa tidak ada hal yang berarti sebagai efek positif dari pesta demokrasi lima tahunan itu. Pemilu tetap tidak bisa menaikkan pendapatan masyarakat. Harga-harga tetap “liar”. Tidak bisa membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran yang semakin banyak setelah PHK besar-besaran akibat krisis global. Bahkan seorang tetangga di rumah berkata begini, “Ya... ikut nyoblos atau tidak sama saja. Kita sendiri yang mesti berjuang mati-matian mencari uang.” Lalu anaknya meluruskan, “Nyontreng, Bu. Bukan nyoblos.”
Bahwa ketika kampanye partai Demokrat pada Jumat lalu di alun-alun Kota Serang dihadiri oleh banyak orang ada banyak alasan yang melatarbelakanginya tentu. Pertama, yang hadir pada saat kampanye tidak selamanya ingin mendengar orasi atau pidato politik. Sangat jarang yang berniat semacam ini. Kalau dulu, ketika Soekarno sering berorasi di depan khalayak, pidato-pidatonya memang ditunggu-tunggu. Sekarang lain. Para pengurus partai malah mengiming-imingi masyarakat dengan para artis agar mau datang. Mungkin hanya kader partai yang memiliki niatan “lurus” dari awal mengikuti kampanye. Sedangkan simpatisan, susah mengatakan bisa seperti itu.
Bisa jadi, yang mau datang ke tempat kampanye saat itu pun, terdorong karena hanya ingin melihat sosok Presiden dengan mata kepala sendiri yang setiap harinya hanya dapat mereka saksiskan di layar televisi. Nilai jual jabatan Presiden rupanya cukup ampuh dalam menggalang massa. Atau, karena ada artis-artis yang akan memeriahkan kampanye sebagaimana diharapkan oleh team kampanye Demokrat. Bahkan saya sendiri rela datang, kepanasan dan berdesak-desakan di alun-alun Kota Serang kemarin juga karena hanya ingin melihat group band Ungu dan Andra and The Back Bone saja. Sedangkan yang lainnya tidak masuk dalam daftar niat saya.
Kenapa saya bisa menilai demikian? Buktinya konkret. Setelah usai kampanye, beberapa bendera partai Demokrat, poster SBY, dan tak terhitung jumlah stiker, tergeletak begitu saja di tempat kampanye. Bahkan ada yang terinjak-injak, menjadi alas duduk, basah, bahkan hancur. Mereka seakan tidak peduli dengan atribut-atribut partai yang sewaktu berangkat didekapnya. Setelah dipakai, atribut itu seakan tidak berguna lagi. Tinggal pemulung yang memungutnya. Itu pun untuk dijual di lapak-lapak barang bekas.
Namanya orang kecil, tidak peduli benar dengan simbol-simbol semacam itu.
Kedua, tidak selamanya yang hadir benar-benar ingin datang. Mungkin ia hanya ingin mendapatkan “jatah bensin” saja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa membagi-bagikan “alakadarnya” ini sangat lumrah saat datang Pemilu. Dan bagi rakyat kecil, “jatah bensin”, yang dalam ukuran para caleg tidak seberapa, sudah lumayan untuk jajan hari ini ketimbang tidak menghasilkan apa-apa. Dari pada narik ojek yang belum pasti akan dapat berapa ketika mengeluarkan sepeda motor dari rumah. Seperti diungkapkan seorang teman beberapa waktu lalu, “Lumayan uang bensinnya. Kalau udah dapet mah mau sampe tujuan atau enggak urusan lain.”
Pencontrengan calon legislatif hanya tinggal menghitung hari. Siapa pun yang akan menjadi pejabat nanti memiliki tugas yang amat berat. Mereka diharapkan bisa memulihkan kembali kepercayaan rakyat terhadap demokrasi yang dipilih oleh Indonesia sebagai landasan bernegara. Jika tidak, bisa jadi pada Pemilu mendatang hanya orang-orang partai yang akan datang di Tempat Pemungutan Suara (TPS) bukan rakyat yang akan mereka perjuangkan.

Tidak ada komentar: