Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 14 Juni 2015

Yang Terlupakan

Karim mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Dalam pikirannya berkelebat kekhawatiran dengan apa yang dilakukannya saat ini, menemui adiknya yang telah lama dilupakan. Adiknya telah mempermalukan keluarga serta mencoreng nama baik yang selama ini telah terukir indah di antara orang-orang kampung. Meski demikian, tetap saja ia bulatkan tekadnya.
Terminal Pakupatan telah tertinggal jauh di belakang. Saat melewati daerah Ciceri, Karim kembali teringat ucapan bapakya tujuh bulan lalu.
Sampai kapan pun saya tidak akan menengok anak sialan itu! bapak begitu berang setelah menerima kabar dari Karim tentang Romli, adiknya yang baru divonis penjara. Kalian juga jangan sampai menjenguknya. Bapak mengarahkan telunjuknya ke arah ibu dan Karim.
Sejak Romli tertangkap polisi, kontan bapaknya tak pernah mau lagi peduli. Tak sudi lagi mendengar namanya. Anak yang hanya bisa buat malu keluarga!
Ibu hanya bisa menangis mendengar keputusan bapak. Karim memeluk ibu, coba menenangkannya.
Jika ada yang menengoknya, maka tak ada bedanya dengan anak durhaka itu!
Karim mengerti perasaan bapaknya. Seseorang yang sangat disegani di kampung tentu malu memunyai anak, seperti Romli. Ada-ada saja yang dilakukannya untuk membuat onar. Berkelahi, mencuri, memalak, mabuk-mabukan bahkan kasus terakhirnya meniduri anak orang. Dan kasus inilah yang menariknya ke bui.
***
Karim sudah sampai di gerbang penjara. Bangunan itu terlihat sangat kokoh. Gaya bangunannya masih seperti saat didirikan pertama kali pada zaman Belanda. Dindingnya begitu kokoh, sekeras kehidupan di dalamnya. Menancapkan paku ke temboknya untuk menggantungkan baju pun rasanya mustahil dilakukan saking kerasnya.
Pintu besi adalah yang pertama menyambut Karim. Ada sebuah lubang di pintu besi itu. Karim mendorong lubang yang tertutup dengan besi tadi. Dari bolongan tersebut terlihat seorang petugas penjaga penjara. Ia mengatakan kepada penjaga bahwa ia ingin masuk.
Beberapa saat kemudian suara gembok ditarik terdengar keras. Pintu terbuka perlahan. Tampak seorang petugas penjara berseragam cokelat berdiri di belakang gerbang. Tak ada senyum di wajahnya. Padahal Karim sudah menyambutnya dengan senyum.
Ia menunjukkan agar Karim menuju ke sebuah ruangan dekat gebang. Di ruangan yang cukup luas tersebut ada sebuah meja dan kursi. Ada seorang petugas duduk di sana. Dari tempat duduk petugas itu keadaan penghuni bisa terlihat dari jeruji tembok.
Dari mana?
Suka Jadi, Pak.
Mau menjenguk siapa?
Romli, Pak.
Saudaranya?
Karim mengagguk mengiyakan meski pun dalam hati sempat hinggap malu mengaku memunyai saudara yang ditahan di penjara namun segera dibuangnya.
Baru pertama kali ke sini?
Sekali lagi Karim mengangguk.
Bisa lihat KTP-nya?
Karim mengambil dompet dari saku belakang celananya. Mengeluarkan KTP dari dalam dompet, kemudian menyerahkannya kepada petugas yang sedang duduk di hadapannya.
Penjaga membacanya sejenak, lalu menuliskan sesuatu di secarik kertas sambil sesekali melihat KTP Karim. Ketika petugas sibuk dengan aktivitasnya, Karim bangkit dari kursi menuju bui. Petugas tadi hanya memandang Karim sekali. Lalu kembali tenggelam dengan pekerjaannya.
Karim mengalihkan pandangan pada jeruji-jeruji ruangan tersebut. Ia dapat melihat para tahanan dengan jelas. Nampak olehnya masing-masing tahanan sibuk dengan kegiatannya, ada yang menyapu, duduk-duduk, ngobrol, menempelkan tubuh ke jeruji, namun lebih didominasi mereka yang asyik menonton para petugas penjara yang sedang bermain bulu tangkis.
Sesuatu yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang di luar mungkin dianggap menarik oleh orang-orang di sini, Karim membatin. Matanya berjalan ke sana kemari berusaha mencari orang yang akan ia jenguk. Namun setelah semua tempat yang ia pandang habis, Karim tetap tidak mendapatkan apa yang dicari.
Seorang tahanan mendekati Karim. Karim mengetahui kalau yang mendekatinya adalah seorang tahanan. Mudah saja ia menyimpulkan: dari kaos yang dikenakan sama dengan mayoritas tahanan. Kaos yang dikenakan berwarna biru dan memiliki nomor di bagian dada kanan. Walau tahanan, penampilannya lumayan rapih. Dengan kaos dimasukkan ke dalam celana jeans biru yang dilingkari dengan ikat pinggang, ia lebih mirip body guard ketimbang tahanan. Badannya terbentuk seperi atlet. Dia bertanya dari sebelah jeruji siapa yang akan Karim temui.
Romli.
Tahanan itu tampak bingung. Sepertinya dia tidak kenal dengan nama itu.
Udin. Karim langsung menambahkan. Berharap nama tersebut akan membantu laki-laki di hadapannya. Kalau di desa biasa dipanggil Udin.
Romli... Udin..., gumamnya. Kasus apa?
Karim tak menjawab. Malu mengatakan tentang kasus yang menjerat Romli ke tempat ini.
Tidak. Tidak. Aku tidak akan memberitahukannya. Jangankan mengucapkannya, mendengarnya saja aku sudah malu, batin Karim.
Petugas sudah selesai menulis. Ia memanggil tahanan yang berbincang-bincang dengan Karim tadi.
Ke sini, Dul. Napi bernama Dulman mendekati petugas setelah melewati pintu gerbang tengah. Dulman diberi kertas yang tadi dipegang petugas.
Tahanan pindahan ya?
Iya, Pak.
Coba kamu cari di sel lima. Perintah petugas pada Dulman.
Sebelum ke penjara ini, sudah dua penjara yang didatangi Karim. Petugas penjara pertama mengatakan Romli sudah dipindahkan. Dan dari penjara kedua yang didatanginya ia tahu bahwa Romli berada di sini. Terbersit rasa penyesalan, mengapa tak pernah muncul keberanian dalam dirinya selama ini. Ia merasa orang yang paling tega membiarkan adiknya dalam penjara tanpa pernah ditengok sekali saja. Ia menyesal terlalu mematuhi bapaknya yang sejak semula sudah ia nilai salah.
Karim kembali memperhatikan para napi yang saling sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak beberapa lama kemudian, Dulman sudah membawa seorang laki-laki. Ia adalah Romli. Badannya nampak sedikit kurus. Kepalanya gundul.
Dengan dihalangi jeruji, mereka saling tatap. Tangan Romli menerobos jeruji, menjabat tangan kakaknya.
Apa kabar Karim? tanyanya. Dari dulu Romli tak pernah memanggil kakak. Umur mereka hanya selisih satu tahun.
Baik.
Ada genangan air yang mulai keluar dari sudut mata Romli. Ia terharu dengan kedatangan Karim. Pertemuan yang tak pernah ia duga. Sebenarnya, selama tujuh bulan di penjara dan tak pernah ada satu pun yang menjenguknya, Romli sudah dapat menyimpulkan bahwa keluarganya sudah tidak mengakuinya. Ia benar-benar sendiri. Bagai anak hilang saja. Namun setelah kedatangan Karim, ada harapan untuk kembali ke keluarga yang disadarinya kini sebagai tempat berteduh.
Sebelum ke ruang besuk, bayar uang kebersihan dulu, kata petugas. Ia tidak menyebutkan berapa. Karim bingung harus memberi uang berapa. Namun saat Karim memberikan uang lima ribu, petugas penjara menerima dan tidak protes karena kurang.
Ruang besuk di penjara ini sama seperti ruangan pertama tadi. Hanya saja selain petugas dengan kursi dan mejanya, di ruangan ini juga terdapat kursi panjang berbentuk huruf n. Romli duduk di bangku sebelah kanan. Ada seorang tahanan yang sedang dijenguk ibunya. Mereka duduk di kursi samping kiri berhadapan dengan Romli.
Terima kasih sudah datang menjenguk. Suaranya parau. Tenggorokannya tercekat.
Karim mengeluarkan dua bungkus rokok, makanan ringan, air minum botol besar serta sebuah bungkusan. Romli dengan gerakan cepat langsung menyembunyikan sebungkus rokok ke dalam celana. Ia selipkan sehingga terhimpit karet celana kolornya.
Karim melirihkan suaranya seolah banyak orang sedang menguping pembicaraan mereka. Satu bungkus saja yang dikeluarkan. Kalau ketahuan bisa berabe. Banyak yang malak! Di sini, merokok sehari satu batang saja sudah termasuk warga elit. Kebanyakan dari kami merokok puntungan. Romli tersenyum getir mengenang.
Bagaimana kabar ibu-bapak? Romli membuka percakapan sambil membuka sebungkus rokok.
Mereka semua baik. Bahkan kedatanganku ini atas kesepakatan bersama. Romli tersentak kaget tak percaya mendengar kata-kata tadi. Benarkah demikian? batinnya masih meragu. Bukankah mereka sejak dulu membenci anaknya yang tidak tahu malu ini? Anak yang membalas air susu dengan air tuba!
Bukankah mereka membenciku?
Karim diam. Dengan hati-hati, ia menjelaskan. Itu dulu. Sebenarnya sudah sejak dulu aku ingin datang menjenguk tapi aku takut pada Bapak. Kau tahu, ia sangat terpukul. Baru kemarin aku berani ngomong kepada Bapak kalau semua orang bisa saja melakukan kesalahan. Dan sepertinya Bapak pun meyadari kekhilafannya setelah aku jelaskan. Ya... meskipun untuk itu membutuhkan waktu tujuh bulan. Maafkan kami. Selama itu kami tidak pernah menemuimu.
Ah tidak apa-apa. Aku memang pantas mendapatkannya. Terus terang, lebih baik tak ada yang menemuiku. Aku malu jika melihat kalian. Dan aku yakin kalian juga malu melihatku.
Sudahlah. Kami sadar tak ada orang yang tak pernah berbuat salah. Kami sudah bisa menerimamu.
Air mata Romli kembali menetes. Haru berterbangan di ruang besuk. Lama mereka bertukar cerita. Dulman memasuki ruang besuk. Ia duduk di bangku. Romli mengerti maksud kedatangan teman tahanannya. Ia sodorkan sebungkus rokok yang sudah ia buka. Dulman mengambil satu batang. Setelah menyulutnya dengan api, Dulman mendekati tahanan di depan Romli yang masih asyik ngobrol dengan ibunya.
Minta jeruk ya? katanya langsung menyusupkan tangan ke dalam kantong plastik tanpa mempedulikan apakah yang diminta setuju apa tidak. Ia mengambil lima buah jeruk dari dalam kantong plastik itu. Sekalian Ekstra Joss-nya ya? Tahanan di hadapan Romli hanya diam. Begitu pula dengan ibunya.
Dulman memberikan dua buah jeruk jarahannya kepada petugas ruang besuk. Satu lagi ia kasih kepada temannya di luar.
Karim menggelengkan kepala melihat kelakuan Dulman.
Alhamdulillah di sini aku mulai rajin sholat. Ramadhan kemarin juga aku berpuasa penuh, satu bulan. Aku merasakan kedamaian di sini. Romli mencoba mengalihkan konsentrasi Karim.
Syukurlah kalau begitu. Aku bawakan pakaian untukmu. Tangannya memegang bungkusan yang tergeletak di antara mereka.
Terima kasih.
Karim mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang dalam perjalanan pulang. Ada kekhawatiran di hatinya. Bagaimana jika Romli mengetahui yang sebenarnya—bahwa keluarganya masih belum bisa memaafkannya bahkan mungkin tidak akan pernah memaafkannya.

Serang, 23 Februari 2007
cerpen ini diterbitkan di koran harian Radar Banten edisi Kamis, 19-April-2007

Tidak ada komentar: