Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 15 September 2008

Sudahkah Kita Manyayangi Orangtua dengan Benar?

Sebuah kisah inspiratif

Dalam sebuah acara makan malam keluarga. Dihadiri pasangan suami istri serta anak usia sekitar enam tahun dan seorang ustad. Di sela-sela makan, ustad bertanya apa keluarga itu hanya berjumlah tiga. Sang istri menjawab bahwa sebenarnya ada satu lagi anggota keluarganya namun tidak ikut makan bersama.
“Dia adalah mertua saya,” jawab sang istri.
Dan dari meja makan, ustad melihat seorang kakek yang sudah renta sedang makan di tempat agak jauh. Ia hanya sendiri. Ditemani gelas dan nampan terbuat dari kaleng tempat nasi, sayur serta lauk menu untuknya. Karena usianya yang lanjut, tangannya sudah tidak dapat menyuapi mulutnya dengan benar. Gerakan suapannya gemetar dan patah-patah. Sehingga setiap kali suapan datang, nasi maupun lauk dalam sendok selalu saja belepotan ke mulutnya lalu berceceran di atas nampan dan meja makan.
“Kenapa Bapakmu kau biarkan makan sendiri?” tanya ustad.
“Bapak saya, setiap kali makan, selalu saja acak-acakan bahkan sering juga menumpahkannya. Bahkan pernah juga memuntahkan makanan ke atas piring. Makanya kami malu kepada tamu kalau harus mengajak Bapak makan bersama. Beliau juga suka memecahkan piring dan gelas karena geraknya yang sudah tidak dapat terkontrol oleh diri sendiri lagi. Sehingga banyak piring dan gelas yang pecah karenanya. Makanya, kami meyediakan tempat khusus untuk beliau makan. Kami juga mengganti piring serta gelas kaca dengan kaleng untuk beliau agar tidak pecah.”
Lalu terdengar bunyi tempat makan yang dipakai orang tua itu jatuh. Anak kedua pasangan muda ini mendekati kakeknya.
“Apa ia tidak tersinggung atau marah dengan perlakukan Anda kepadanya?” tanya ustad.
“Saya kira Bapak akan mengerti dan maklum kenapa kami melakukannya.”
Anak kecil itu kemudian melintas ke depan ayah dan ibunya sambil membawa tempat makan bekas kakeknya.
“Kamu mau bawa kemana tempat makan kakek itu, sayang?” tanya sang ayah.
“Aku mau menyimpannya.”
“Untuk apa?”
“Untuk tempat makan ayah dan ibu nanti kalau sudah tua seperti kakek nanti.”
***
Saat menonton kisah di atas, saya langsung teringat ibu di rumah. Saya merasakan kepiluan dan kesedihan yang sama dengan tokoh kakek itu. Merinding saya membayangkan ibu jika mendapat perlakuan seperti itu. Saya tak akan rela beliau mendapat perlakuan semacam itu bagaimana pun kondisinya. Maka, saya berjanji akan selalu menyayanginya. Tolonglah saya menepati janji itu ya, Allah. Sayangi ia sebagaimana ia menyayangiku sewaktu kecil. Amin.
Sebuah kisah inspiratif yang emosional. Saya sampai meteskan air mata. Sebenarnya ini adalah salah satu kisah dari sinetron Lorong Waktu yang tayang 5 September 2008. Hanya saja, ada penambahan dan pengurangan yang saya lakukan saat menuangkannya kembali dalam bentuk tulisan meskipun (saya rasa) tidak mengubah inti dari pesan yang ingin disampaikan.
Serang, 5 September 2008

Tidak ada komentar: