Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 25 Juli 2009

TKI Bukan Budak

Banyak kasus penyiksaan yang terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita. Bahkan terlalu banyak jika diungkapkan dalam tulisan ini. Meski begitu, seakan tidak ada rasa risih atau takut yang menyelimuti rakyat kita untuk mengais uang di negara-negara tetangga (luar negeri). Seakan, adegium meski hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri tidak bisa membuat kaki mereka tetap berpijak di negeri ini.
Keadaanlah yang membuat mereka mesti menyebrangi lautan dan bekerja sebagai tenaga kasar di negeri orang. Saat negara dan swasta tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan, dan pada saat yang sama ada celah kecil untuk mendapatkan penghasilan, maka mereka lebih memilih memasuki celah itu.
Hidup memang mesti realistis. Rasa lapar tidak dapat diganjal dengan batu. Pendidikan dan hidup layak hanya bisa terpenuhi jika ada uang. Dan bekerjalah jalan untuk itu semua. Maka, saat ada tawaran sebagai TKI langsung mereka sambut dengan gembira demi masa depan yang lebih baik.
Dan resiko bekerja jauh di negeri orang memang besar, apalagi sebagai pembantu. Salah satu resikonya adalah mesti siap terhadap hal-hal yang buruk seperti kasus kekerasan yang dilakukan sang majikan. Ini bukan menakut-nakuti karena realita berbicara demikian. Meskipun mesti diutarakan pula, bahwa tidak semua TKI kita mendapatkan kekerasan saat bekerja. Bahkan banyak juga yang kembali lagi bekerja ke negeri orang karena ia baik-baik saja saat bekerja disana.
Telah banyak diberitakan penyiksaan-penyiksaan yang terjadi pada TKI kita. Kasus teranyar adalah kasus Modesta Rengga Kaka, TKI asal Kampung Ngambadeta, Desa Wanotalo, Kecamatan Wewera Utara, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Tubuh Modesta diberitakan dipenuhi bekas luka merata, daun telinganya rusak, dan pendengarannya tidak berfungsi dengan baik. Bahkan dokter memperkirakan pendengarannya bakal rusak permanen (Tempo, 28 Juni 2009).
Diduga, kekerasan yang dialami oleh Modesta dilakukan oleh majikannya sendiri di Malaysia. Kasus ini diketahui oleh polisi setempat karena teman Modesta tidak tahan melihatnya disiksa.
Nama-nama TKI lain yang mengalami nasib buruk, yang bisa diurutkan disini (yang diketahui oleh media massa saja) adalah Nirmala Bonat, Ceriyati, Parsiti, Kurniasih, Maryati, Fiktoria Usnaat, Siti Fathonah, Sti Hajar. Ini hanya nama-nama TKI yang bernasib memprihatinkan dan yang bekerja di Malaysia. Belum lagi yang bekerja di negara lain seperti Arab Saudi, misalnya, atau yang lainnya.

Tiga Penyebab
Kenapa TKI kita seolah tetap saja memaksakan diri untuk “betah” bekerja walaupun sering disiksa sang majikan? Ada banyak kemungkinan. Namun dalam hal ini, penulis hanya akan memaparkan tiga sebab kenapa mereka tetap bertahan.
Mayoritas TKI kita tetap bertahan untuk tidak kabur dari tempat mereka bekerja karena, pertama, menunggu gaji yang masih digantung sang majikan. “Saya tak mau lari karena saya tetap berharap gaji saya dibayar,” ungkap Modesta mengungkapkan alasannya kenapa dirinya tidak juga mau berhenti bekerja meski kerap disiksa.
Kedua, karena ketakutan menyelimuti mereka. Seorang majikan yang melakukan tindakan penyiksaan tidak akan dengan enteng melepaskan TKI kita. Pasti mereka akan melakukan tekanan-tekanan agar TKI kita tidak melapor kepada kepolisian, tidak mengadu kepada teman, bahkan tidak bisa kabur. Seorang tetangga di kampung saya, TKW yang baru pulang dari Madinah, mengaku mesti melapor kepada majikannya setiap kali akan membuang sampah. Mereka, sang majikan itu, begitu ketat menerapkan peraturan yang membatasi ruang gerak TKI kita. Dan dalam banyak kasus, tekanan-tekanan semacam ini bekerja sukses mengecilkan nyali.
Ketiga, karena para TKI kita tidak tahu kemana mau melapor karena tidak tahu daerah dimana mereka bekerja.
Untuk itu, sistem yang diterapkan selama ini mesti diperbaiki. Pihak-pihak terkait (pemerintah, penyalur TKI dan lainnya) hendaknya tidak hanya memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan dari TKI-TKI itu tapi juga memikirkan bagaimana nasib mereka di negeri orang. Keamanan mereka mesti dipikirkan. Mesti dipikirkan juga bagaimana agar para TKI itu pulang ke kampung dengan selamat dan tanpa harus bercerita duka kepada keluarga mereka.
Sebentar lagi, Presiden baru akan terpilih sebagai pemimpin negeri ini. Siapa pun yang akan terpilih sebagai nahkoda bangsa ini, kita berharap ia bisa memperbaiki nasib TKI kita. Mesti banyak yang diperbaharui agar para TKI itu tidak lagi mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. TKI adalah manusia merdeka. Jelas, mereka bukan budak yang bisa (dan halal) mau diapakan saja seperti saat masa jahiliyah dulu.
Semoga nasib TKI kita bisa menjadi lebih baik lagi dan dapat bekerja dengan aman. Syukur-syukur, Indonesia tidak perlu lagi “mengekspor” warganya ke negeri mana pun juga. Amin.

Tidak ada komentar: