Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 02 November 2009

Fenomena Kekerasan dalam Dunia Pendidikan

Judul dalam tulisan ini adalah tema dalam sebuah diskusi pendidikan di aula kampus IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten beberapa waktu lalu.
Dalam Diskusi yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Adab yang menghadirkan Dinas Pendidikan Provinsi Banten, pengasuh Pesantren La Tansa Lebak, Pengamat Pendidikan, dan Komisi Perlindungan Anak itu terbukalah kasus-kasus kekerasan yang terjadi selama ini terutama di dunia pendidikan. Kekerasan yang tidak hanya dalam bentuk ringan namun juga kekerasan yang sudah mengarah pada tindak pidana.
Yayah Rukiyah, M.Pd. dari Komisi Perlidungan Anak Banten mengatakan bahwa di Negara kita ada sekitar 1926 kasus kekerasan fisik selama tahun 2008. Itu hanya yang terekspose atau diketahui. Belum yang hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Kalau dijumlah dengan yang tidak terekspose mungkin jumlahnya akan semakin membesar. Bahkan kita akan tercengang mendengarnya.

Kekerasan Fisik
Di lembaga pendidikan kita yang semestinya tempat untuk membentuk jasmani, mental, dan intelektual para murid secara baik malah terkadang menjadi tempat kekerasan tumbuh subur. Saya tidak mengatakan bahwa di semua sekolah terjadi kekerasan. Saya hanya mengatakan bahwa kemungkinan terjadinya kekerasan bisa saja terjadi di mana pun termasuk di sekolah.
Mungkin kita masih ingat bagaimana kekerasan yang ditayangkan oleh media massa menyoroti kekersan fisik yang dilakukan beberapa oknum di Institut Perguruan Dalam Negeri atau IPDN. Cliff Muntu sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan para seniornya adalah gambaran dari kekerasan yang telah mengurat dan baru terbongkar. Ini juga menjadi pelajaran dari betapa “pamer pengaruh” dalam bentuk kekerasan, meski tidak diniatkan untuk membunuh, bisa mengantar seseorang ke liang lahat.
Kekerasan yang dilakukan oleh siswa atau mahasiswa yang lebih dulu masuk lembaga pendidikan biasanya disebabkan oleh dendam karena mereka juga pernah diperlakukan demikian saat pertama kali masuk lembaga tersebut. Ada unsur balas dendam yang tertanam atas perlakuan senior sebelumnya. Tapi ternyata kekerasan juga tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa atau siswa terhadap siswa lain. Seorang guru juga tak jarang melakukan tindak kekerasan semacam ini. Menurut Drs. Abd. Rachman Assegaf, M. Ag., dkk. dalam artikel “Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan” disebutkan bahwa di akhir tahun 1997, di salah satu Sekolah Dasar Negeri Pati, seorang ibu guru kelas empat menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Atas dalih menegakkan disiplin, seorang pengajar rela melakukan kekejaman itu.
Dan belum lama ini juga terekspose di televisi bahwa ada seorang guru yang menghukum muridnya dengan membantingnya ke tanah. Adegan ini direkam oleh seorang murid menggunakan handphone. Ini menambah kasus kekerasan fisik yang terjadi di dunia pendidikan.
Sanksi yang niat awalnya adalah hanya memberikan efek jera agar tidak terulang kesalahan serupa namun ternyata mendistorsi tujuan awal itu karena berlebihan.

Kekerasan Mental
Namun tidak hanya kekerasan dalam bentuk fisik yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Ada kekerasan lain yang tidak kalah membahayakan dari kekerasan fisik yaitu kekerasan psikis. Kekerasan ini tidak bisa terlihat secara langsung namun bisa mempengaruhi bahkan sampai seumur hidup akibat trauma. Kekerasan ini adalah kekerasan yang menyerang mental. Kekerasan psikis tidak hanya menyebabkan seorang anak minder, takut, tidak percaya diri, pemurung, yang membuatnya tidak berkembang tapi jauh dari itu seorang anak akan cenderung membenci kegiatan belajar yang dilakukan di sekolah.
Kekerasan mental dalam bentuk ini juga suka terjadi di kampus. Ada dosen yang suka mengancam karena merasa berkuasa sebagai orang yang memiliki otoritas dalam memberikan nilai. Jika ia tidak suka dengan salah seorang mahasiswa—karena tidak sependapat saat diskusi, misalnya—maka ia akan memberikan nilai kecil kepada mahasiswa tersebut. Inilah kekerasan yang tidak terlihat namun sering juga terjadi entah terhadap mahasiswa atau siswa.
Dalam bentuk apa pun, kekerasan fisik mapun psikis tidak dapat diterima karena akan ada yang dirugikan oleh tindakan itu.

Meminimalisir Kekerasan
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir volume kekerasan-kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan? Ada beberapa catatan yang bisa sama-sama kita renungkan yang muaranya ada pada para pendidik. Pertama, pada dasarnya, seorang anak manusia hanyalah amanah Tuhan yang diberikan kepada orangtua. Lalu orangtua yang melahirkan mengamanahkan lagi kepada guru. Maka, seorang guru mesti menjaga amanah ini bukannya merusak apa yang telah Tuhan amanahkan kepadanya.
Kedua, pendidik mesti mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mendidik. Atau aspek sikap (afektif) murid. Selama ini, yang ditekankan dalam dunia pendidikan kita, terutama pada era Orde Lama, adalah aspek kecerdasan otak (kognitif) saja. Sedangkan kecerdasan emosi dan spiritual siswa terabaikan. Seolah kehidupan bisa diarungi hanya dengan memiliki semua pengentahuan. Padahal kesuksesan dalam mengarungi hidup sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan spiritual seseorang. Sebagai contoh konkret kasus calon legislator yang gila akibat tak terpilih pada Pemilu April lalu. Ia bukan saja gagal dalam pemilihan tapi juga gagal dalam hidup. Kalau saja ia masih memegang teguh ajaran Tuhan, (cerdas spiritualnya) maka mungkin tak akan sampai mendapat anjuran dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Akibat pengagungan terhadap kecerdasan otak, siswa terus saja kita cekoki dengan pengetahuan dari buku. Dan dengan sendirinya, guru atau orang tua, lebih sering menghargai anak yang bisa menjawab pertanyaan dalam ujian ketimbang anak yang memiliki sikap sopan atau jujur.
Ketiga, sudah saatnya para guru dan orang tua, juga masyarakat secara luas dapat menerima seorang anak dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan cara ini, kita dapat mengendalikan keinginan dan ambisi kita dalam membentuk kecerdasan seorang anak.

Tidak ada komentar: