Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 02 November 2009

Jangan Mau Cuma Jadi Pembaca

Dalam sebuah seminar tentang peran media (massa) terhadap pendidikan di kampus IAIN “SMH” Banten, Rabu (22/04) lalu, seorang mahasiswa bertanya, “Kenapa pers atau koran lokal tidak banyak mengupas sisi negatif sebuah tayangan televisi semisal Inbox atau Dahsyat yang ditayangkan pada jam-jam belajar?” Ia menyatakan bahwa banyak pelajar atau mahasiswa yang lebih memilih menonton tayangan yang berisi lagu-lagu hits tersebut ketimbang belajar.
Pernyataan ini memang belum teruji validitasnya. Tapi begitulah si mahasiswa itu bertanya dan memberikan pernyataan. Saya hanya bisa menjawab untuk menyemangatinya, “Jangan cuma jadi pembaca! Dan jangan cuma jadi penonton!”

Banyak Menuntut
Saya katakan kepadanya bahwa tidak semua hal bisa dipenuhi oleh media massa. Banyak kebijakan yang menuntut banyak pertimbangan saat akan diputuskan dalam sebuah perusahaan pers. Untuk itu, tidak semua keinginan orang bisa terpenuhi jika hanya memperlakukan pers sebagai alat pemuas. Sebagai contoh, pers (terutama koran lokal) belum ada yang dengan serius memberikan laporan yang “berisi” tentang pendidikan, semisal bagaimana metode yang baik bagi pengajaran bahasa asing anak kecil.
Kemudian metode-metode itu dikupas dengan tuntas hingga yang membaca paham bagaimana mesti melakukannya saat praktik. Jika diterapkan begini, agaknya seluruh halaman bisa-bisa dipenuhi dengan artikel pendidikan semua.
Media massa bukan tidak mampu membuat artikel semacam itu. Hanya saja, karena merupakan koran umum (terutama koran harian) yang memang diperuntukkan untuk umum, maka isinya pun mesti yang umum-umum saja. Oleh sebab pembaca beragam latar belakang maupun pendidikan, koran sehingga tidak bisa menitikberatkan pada satu bidang tertentu sedang bidang lain dikurangi porsinya. Jika begitu, maka koran tak berbeda dengan jurnal ilmiah.
Di zaman ini, kita sering kali menuntut yang kita mau tanpa sebelumnya berusaha dengan melakukan hal-hal yang bisa mengarah pada apa yang kita mau. Kita menuntut media massa elektronik agar jangan menayangkan berita-berita gosip karena hanya membuka aib seseorang, tapi kita hafal betul kasus-kasus yang menimpa artis-artis itu. Kita mencela sinetron-sinetron yang menayangkan kekerasan, baik verbal maupun fisik, namun kita menikmatinya hingga tengah malam. Kita terlalu banyak menuntut sedangkan kita sendiri tidak ikut dalam gerakan nyata. Hanya menyebarkan wacana dan berharap wacana itu ditangkap oleh orang lain.
Kita terlalu banyak menuntut tanpa mengimbanginya dengan tindakan konkret.

Jadilah Kreator
Media massa yang mulai mendapatkan angin segar setelah era Reformasi tidak dikelola oleh para malaikat yang tak pernah bisa salah. Meminjam lirik lagu band Serieus dari Bandung, bahwa orang media juga manusia. Mereka bisa salah (dalam analisa atau penulisan dan sebagainya). Bisa juga keliru. Maka, tak ada media yang benar-benar benar dalam arti tak pernah salah. Dalam sembilan elemen jurnalisme yang digagas oleh wartawan senior Amerika Bill Kovach dan Tom Rosenstiel bahwa kebenaran yang dianut oleh media adalah kebenaran fungsional seperti pada kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Artinya, kebenaran itu tidak selamanya begitu. Kebenaran bisa berubah.
Sebagai contoh, seorang wartawan melaporkan korban bencana alam di suatu daerah berjumlah 50 orang. Berita ini benar karena para relawan yang mengais puing-puing rumah yang diwawancarai memang hanya menemukan 50 orang korban. Tapi setelah keesokan hari ditemukan 2 orang lagi, kebenaran berita 50 orang diganti atau diperbaharui dengan data yang didapatkan kemudia oleh sang wartawan.
Di sinilah arti kebenaran relatif dan bisa diperbaharui yang dimaksud Bill Kovach itu.
Media massa memang berperan sebagai konrol sosial. Ia juga menjadi amat penting karena dianggap sebagai pilar demokrasi yang keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tapi media massa juga membutuhkan kontrol karena bisa saja salah atau keliru. Siapa yang bisa mengontrolnya? Kita sebagai konsumen media. Jika kita tak sepakat dengan tayangan kekerasan dalam sinetron di televisi, maka kita sebagai konsumen bisa menegur. Bisa melalui telpon, e mail, surat, atau datang langsung sebagai bentuk protes. Bila tidak digubris, buat gerakan meninggalkan televisi. Pemilik televisi mana pun akan berpikir dua kali untuk menayangkan sinetron-sinetron tidak disukai jika konsekwensinya akan kehilangan penonton.
Tak ada artinya televisi tanpa penonton karena dari penontonlah ratting yang menjadi patokan pemasukan iklan akan mengalir deras atau kekeringan. Bagitu pula dengan media cetak. Jika tak puas dengan isi berita yang selama ini menghiasi lembar-lembar kertas informasi itu, maka pintu redaksi selalu terbuka bagi kritikan dan masukan. Media akan menuruti keinginan pembaca ketimbang keinginan wartawan.
Jika ingin lebih elegant lagi, maka sudah saatnya kita yang mewarnai koran lewat tulisan. Di rubrik-rubrik opini kita bisa suarakan yang belum terdengar. Atau meluruskan yang bengkok. Sudah saatnya tidak hanya menjadi pembaca dan penonton. Saatnya menjadi kreator.

Tidak ada komentar: