Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 02 November 2009

Mencari Penerjemah Berikutnya

“Memberilah sebanyak-banyaknya. Jangan meminta sebanyak-banyaknya.” Begitu kira-kira nasihat yang diucapkan Pak Harfan kepada kesepuluh muridnya yang disebut oleh Bu Muslimah sebagai Laskar Pelangi. Mungkin salah satu orang yang menerapkan nasihat Pak Harfan adalah seorang penerjemah. Bagaimana tidak, penerjemah memberikan semua keringatnya saat menerjemahkan tapi jerih keringatnya ini belum dihargai dengan nilai yang pantas.
Aktivitas menerjemahkan sebetulnya lebih sulit ketimbang menulis itu sendiri. Kesulitan ekstra menerjemahkan terletak pada mesti mengertinya seorang penerjemah apa yang diinginkan oleh penulis dalam tulisannya sementara penerjemah hanya bertemu dengan teks penulisnya saja. Karena itu pula, mungkin, profesi penerjemah kurang populer karena terlalu susah sehingga jarang ada yang mau mengajak untuk mempelajari keterampilan ini.
Jika seorang anak ditanya, “Apa cita-cita kamu kalau besar nanti?” maka saya yakin tidak ada yang akan menjawab, “Saya ingin jadi penerjemah.” Setidaknya untuk saat ini. Kata “penerjemah” menjadi sesuatu yang asing di telinga masa kanak-kanak kita. Ia ada namun tidak diketahui dimana.
Sewaktu kecil, saat ditanya memiliki cita-cita apa, saya juga tidak menjawab ingin menjadi penerjemah. Saat itu, saya menjawab ingin menjadi penceramah karena saya terkagum-kagum pada pidato Dai Berjuta Umat, Zainuddin MZ. Teman-teman seumuruan saya juga tidak menjawab ingin menjadi penerjemah. Di antara bermacam-macam cita-cita teman-teman saya yang banyak mereka ungkapkan adalah ingin menjadi dokter dan polisi—meski pun sampai sekarang tidak ada satu pun dari teman-teman saya yang menyatakan ingin menjadi dokter dan polisi berhasil mewujudkan cita-cita itu.
Begitulah realita yuang terjadi di sekitar kita. Cita-cita (baca: profesi) yang diinginkan—atau mungkin lebih tepatnya, yang lebih familiar—di benak anak-anak kecil adalah cita-cita semacam itu semua. Kalau tidak dokter, pasti polisi atau pilot. Menyusul kemudian insinyur, guru, ABRI, penceramah. Namun akhir-akhir ini artis (penyanyi atau pemain sinetron) sangat mungkin akan menjadi cita-cita yang diinginkan anak-anak setelah banyak acara televisi mengadakan pencarian bintang cilik.
Sementara cita-cita lainnya yang kalah pamor dan kalah mentereng adalah profesi pengarang dan penerjemah. Cita-cita penulis masih memiliki nasib yang lumayan. Apalagi dalam beberapa tahun profesi pengarang lagi banyak digandrungi dan booming. Ini terlihat dari banyaknya bermunculan penulis-penulis baru baik yang muncul karena tumbuh sendiri atau melalui “perantara” komunitas seperti Forum Lingkar Pena dan lainnya, terlepas dari kualitas tulisan mereka. Kondisi ini juga didukung oleh penerbitan media massa yang semakin banyak.
Profesi terakhir yang masih memprihatinkan dan menyedihkan, karena masih belum dihargai sepenuhnya dan langka peminat, yaitu penerjemah.

Jasa Penerjemah
Tak banyak yang tahu kalau salah satu profesi di Indonesia ini yang menyumbang jasa besar dalam transformasi dan pengembangan ilmu pengetahun namun kerap tak tenar dan kurang dihargai yaitu penerjemah.
Dalam sejarah, kebangkitan suatu peradaban selalu memiliki benang merah dengan adanya penerjemahan dari kebudayaan dan ilmu pengetahuan dari bangsa sebelumnya. Bangsa Yunani kuno menerjemahkan karya Mesir kuno pada satu abad sebelum masehi. Lalu muncullah pemikir-pemikir unggul pada masa Plato, Socarates, Aristoteles, dll. Peradabana Islam berkembang karena telah terjadi transformasi ilmu pengetahuan dari karya-karya lama Yunani, Persia, India, dan Mesir dalam bidang eksakta dan kedokteran. Dimulai dari sini lah Islam kemudian mencapai masa keemasannya. Simbol kemajuan ilmu pengetahuan Islam saat itu adalah Bait al Hikmah (house of wisdom), pusat keilmuan paling bergengsi pada masa itu, yang tak lain adalah tempat para penerjemah bekerja.
Dan masa pencerahan Eropa juga bisa terjadi salah satunya karena mereka menerjemahkan karya-karya brilian pemikir-pemikir Islam dan Yunani. Kemajuan Jepang juga tak lepas dari peran para penerjemah (Syihabuddin, 2005: 1).
Pada abad modern ini, penerjemahan juga masih terus berlangsung dalam setiap sisi kehidupan kita. Apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia, kita masih memerlukan pengetahuan, informasi, dari negara-negara yang sudah maju untuk kemudian kita pergunakan dan kita kembangkan sendiri di negeri sendiri. Kebutuhan informasi itu bisa dipenuhi jika semua informasi yang berasal dari negara-negara maju itu diterjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri. Dan tak ada yang pantas menerima penghargaan untuk itu selain penerjemah.
Sayangnya, “penghargaan” yang layak belum sepenuhnya bisa dirasakan oleh para penerjemah yang telah berjasa banyak itu. Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia pada peringatan Hari Buku se-Dunia (world book day) beberapa waktu lalu, terungkap bahwa profesi penerjemah memang kurang dihargai secara layak terutama dalam kaitan royalti.
Siapakah yang akan mengisi posisi penerjemah selanjutnya? Tak mudah menjawab pertanyaan ini apalagi melihat prospek profesi penerjemah yang belum menjanjikan. Padahal ketika masa Islam jaya, penerjemah sangat dihargai. Buku terjemahan yang mereka buat dihargai dengan emas. Berapa pun berat buku terjemahan mereka, maka seberat itulah jumlah emas yang akan mereka dapatkan.
Sebenarnya, profesi penerjemah bisa dijadikan salah satu peluang untuk mendapatkan penghasilan meski pun kecil pendapatan. Di luar dari urusan royalti, karya-karya penerjemah sangat bermanfaat. Dan menjadi penerjemah lebih baik ketimbang menganggur tidak mengerjakan (dan tidak menghasilkan) apa-apa.
Wallahua’lam.

Tidak ada komentar: