Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 02 November 2009

Mematenkan Budaya Negatif

Akhir-akhir ini isu mematenkan kebudayaan kembali menghangat. Bahkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten kabarnya akan mematenkan Debus.
Awalnya, saya senang membaca berita di harian ini bahwa Pemprov Banten akan segera mematenkan Debus sebagai salah satu kebudayaan yang dimiliki Banten. Tapi setelah membaca berita selanjutnya tentang kekurangseriusan pemerintah provinsi pada pembangunan infrastruktur di beberapa daerah di Banten, terutama menyangkut jalan raya, kesenangan saya berkurang.
“...yang jelas, kami kecewa ketika jalan provinsi sepanjang 81 kilometer di Lebak rusak dan tidak ada perbaikan, padahal sudah berkali-kali kami layangkan surat,” komentar Sekda Lebak Ruslan Effendi (Banten Raya Post, 29 Agustus 2009 tentang “Debus akan Dipantenkan” dan “8 Daerah Ancam Boikot Pemprov”).
Ini memang apa yang saya rasakan. Tapi saya yakin ada banyak warga Banten juga yang mengamini perasaan ini.

Cinta Banten
Langkah Pemprov Banten mematenkan Debus ini memang perlu. Bahkan sangat bagus sesuai dengan instruksi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik melihat kecenderungan yang kurang bagus yang dilakukan beberapa tangan tidak bertanggung jawab terhadap kebudayaan Indonesia.
Namun, hendaklah diperhatikan juga bahwa pematenan Debus bukan hanya bertujuan untuk menjaga agar tidak ada yang mengkalaim, mengaku-aku, dan mengambil keuntungan dari itu. Tidak berhenti di situ.
Lebih dari itu, agar generasi setelah kita tahu bahwa mereka memiliki warisan yang mesti dijaga dan dikembangkan. Agar mereka tahu bahwa Banten memiliki banyak kebudayaan sebagai kekayaan. Dan itu punya akar sejarah yang panjang sejak zaman Sultan Ageng Tirtayasa yang gagah berani dan tidak mau tunduk pada penjajah Belanda itu.
Dengan mengetahui kebudayaan sendiri, kita berharap masyarakat Banten akan lebih mencintai tanah Banten, tetap memeliharanya, dan tidak melupakannya seperti para sultan yang mencintai Banten.

Penting juga
Di luar keinginan Pemprov Banten yang baik itu, ada sesuatu yang (juga) tidak kalah penting dari hanya mematenkan kesenian Debus dan kesenian yang lain. Sesuatu yang penulis maksud adalah keseriusan pemprov Banten dalam membangun jalan raya yang sudah disebutkan di awal. Penulis hanya tahu beberapa ruas jalan saja yang bermasalah dan perlu perhatian pemerintah yang kondisinya memang parah.
Mungkin sesekali pejabat di Pemprov Banten mesti mencoba jalan Cikande-Rangkasbitung jika ingin ke Lebak. Jangan lewat Pandeglang melulu. Rasakanlah berkendaraan di atas jalan itu. Seperti sedang berselancar di atas ombak. Coba saja.
Rasakan juga bagaimana rasanya menelusuri sepanjang jalan itu dengan ditemani debu yang selalu menari sepanjang jalan tiap kali ada kendaraan melaju. Siapa tahu Anda akan mengerti rasanya jalan raya seperti itu.
Percayalah, di sepanjang jalan itu tidak akan kita temui ada lubang karena hampir seluruh badan jalan memang hancur. Jalan berlubang mengindikasikan bahwa masih ada jalan utuh di beberapa bagian jalan lain, sedangkan jalan hancur tidak.
Lalu bayangkanlah bagaimana warga sekitar yang setiap hari berkawan mesra dengan debu itu. Bayangkanlah paru-paru mereka yang sedikit demi sedikit disesaki debu. Bayangkan juga apa yang akan terjadi pada makanan di rumah mereka akibat debu itu. Bayangkan tubuh mereka setelah mengkonsumsi makanan itu. Cobalah tanyakan kepada dokter apa yang akan terjadi jika seseorang terlalu sering menghirup udara yang tidak sehat itu. Mungkinkah dokter akan bilang, “Oh, itu tidak apa-apa. Itu malah sehat buat mereka!”
Lihatlah rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan Cikande-Rangkasbitung itu yang tebal oleh debu yang setiap hari melapisinya. Atau sesekali tanyakan bagaimana perasaan mereka dengan keadaan itu. Turunlah ke rumah-rumah mereka saat ini. Jangan hanya saat akan mencalonkan diri mejadi penjabat daerah saja.
Lalu, kunjungilah dan masuklah ke Terminal Pakupatan. Rasakan sensasinya. Bayangkan apa yang akan orang (di luar Banten) pikirkan tentang bagaimana kita mengelolanya. Bayangkan bagaimana pusingnya para supir angkot yang pendapatannya tidak seberapa itu mesti rajin ke bengkel karena mobil mereka cepat “ngedrop” akibat kondisi jalan yang tidak bagus. Padahal mereka selalu rela membayar setiap kali masuk ke terminal. Memang benar jalan di terminal Pakupatan sering diperbaiki tapi sering dan cepat pula rusaknya. Tak pernah bertahan lama. Sampai sekarang.
Kunjungi juga jalan-jalan di daerah lain di Banten. Ah, pasti Anda akan mengerti!
Bukan apa-apa, penulis hanya khawatir saja di masa mendatang, saat generasi setelah kita yang memegang pemerintahan Banten, mereka akan berniat mematenkan kerusakan jalan sebagai kebudayaan khas Banten juga jika berlarut-larut begini.
Ow, tidak!

Tidak ada komentar: