Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 02 November 2009

WTS dan Kredibilitas Wartawan

Di dunia ini, ada saja yang mencoba memalsukan sesuatu demi mendapatkan keuntungan pribadi lebih. Tidak hanya barang elektronik atau kaos bermerk terkenal tapi juga profesi. Salah satu profesi yang suka “dibajak” akhir-akhir ini dan belum juga tuntas adalah wartawan. Julukan bagi pembajak ini sudah sedemikian berkembang mulai dari wartawan oje alias ore jelas (Jawa: tidak jelas), wartawan CNN (cuma nanya-nanya), sampai WTS (wartawan tapa surat kabar).
Tiga julukan itu menjelaskan bahwa wartawan-wartawan semacam ini hanya mewawancara narasumber tetapi tanpa menuliskan dan menerbitkannya dalam surat kabar, entah harian atau mingguan. Bila pun ada medianya, biasanya hanya terbit satu kali dan hanya sebagai “bukti” agar narasumber percaya bahwa mereka wartawan.
Keberadaan wartawan semacam ini jelas mengancam kredibilitas dan sangat merugikan wartawan profesional yang memang benar-benar bekerja untuk tugas jurnalistik karena cap jelek biasanya akan mendarat juga pada wartawan beneran itu. Seperti kata pepatah; karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Sebelum reformasi
Sebelum reformasi, mungkin jumlah pembajak wartawan sedikit. Bahkan jumlah wartawan beneran juga sedikit. Ini bisa terjadi karena saat Orde Baru, surat ijin mendirikan sebuah surat kabar yang dikenal dengan SIUP amat susah. Sehingga, hanya koran-koran yang sudah lama ada dan biasanya punya nama besar saja umumnya yang bertahan. Sedangkan surat kabar yang tidak jelas—apalagi yang hanya satu kali cetak saja—tidak mendapatkan tempat.
Ditambah dengan rezim yang otoriter dan memusuhi setiap kegiatan jurnalistik yang bisa mengancam pemerintahan, keberadaan wartawan tidak bisa sembarangan mengorek-orek kebusukan pemerintah saat itu. Dengan dalih menjaga stabilitas nasional, wartawan yang lantang menyerukan kebobrokan pemerintah akan “digebuk”. Salah satu hukumannya adalah membredel surat kabar yang memberitakan itu.
Apa yang dikhawatirkan oleh satuan kerja perangkat daerah yang mengatur dengan ketat waktu konfirmasi bagi para wartawan beberapa waktu lalu memang beralasan terkait maraknya wartawan tanpa surat kabar. Pasalnya, mereka amat terganggu dengan kehadiran para wartawan yang mengkonfirmasi tapi seperti mengadili. Dan liputan yang mereka lakukan hanya memiliki satu tujuan yang ujung-ujungnya duit (Banten Raya Post, Rabu, 22 Juli 2009).
Bukan hanya di instasnsi pemerintah, para wartawan ini juga biasa memeras masyarakat setiap kali mereka meliput daerah tersebut. Di beberapa daerah di Banten malah ada wartawan yang mengancam pihak sekolah dengan pemberitaan setelah sebelumnya mewawancarai mereka.
Sebenarnya ini bukan kasus baru. Keberadaan wartawan tak jelas sudah ada sejak lama. Kelahiran wartawan semacam ini agaknya dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, adanya “sumbangan” bagi wartawan yang meliput. Bukan lagi rahasia umum bahwa ada semacam “tanda terima kasih” bagi wartawan setiap kali meliput. Ini memang memang dilematis. Bahkan pernah ada juga pejabat yang sengaja menyediakan “amplop” khusus bagi wartawan sebagai anggaran tambahan.
Hal yang semacam ini seperti gayung bersambut. Apalagi jika gaji wartawan di media tempatnya bekerja memang suka kurang ketimbang pengeluarannya. Fenomena semacam ini tentu saja akan mengundang siapa pun yang memiliki sedikit keberanian dan sedikit acting menjadi seorang wartawan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ibarat pepatah, ada gula ada semut.
Kedua, ketakutan beberapa oknum yang bermasalah dengan gertakan wartawan gadungan. Apalagi jika sang oknum memang tengah bermaslah, misalnya diduga korupsi. Dengan kompensasi tidak akan dimuat di koran, ia akan membayar sang juru berita. Namun justru dengan begitu sang wartawan akan semakin sering memerasnya karena ia mendapatkan “lahan basah” yang setiap saat bisa ia hisap airnya.
Ketiga, belum adanya gerakan bersama-sama mengangkat sebuah sikap agar para wartawan gadungan hilang. Gerakan ini bisa dimulai oleh para wartawan profesional dengan melaporkan kepada pemerintah wartawan yang perlu dicurigai. Tindakan lebih lanjut adalah, melaporkan para oknum ke pihak kepolisian agar jera.
Gerakan ini bisa sukses jika semua pihak bersatu.
Jika tak ada gerakan bersama memberantas wartawan oje, maka akan selalu ada masalah yang mereka timbulkan. Dan akibat yang ditimbulkan oleh oknum wartawan ini akan semakin memperparah citra wartawan profesional lainnya sebagai tukang peras, penjahat pena.

Tidak ada komentar: