Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 02 November 2009

Mungkinkah Koran Mengontrol Koran?


sumber gambar:http://bebibala2.files.wordpress.com/2009/08/koran1.jpg
Seperti halnya pemerintah yang memerlukan pihak oposisi sebagai penyeimbang pemerintahan, pengontrol kebijakan yang melenceng dari tujuan yang semestinya, demikian juga rasanya dengan media massa.
Media massa memerlukan “oposisi” sebagai penggairah. Sebagai kompas penunjuk arah kalau-kalau sesekali ada media massa yang “tersesat”, “meleceng”, atau yang memang iseng dan sengaja “melanggar”.
Mengapa “oposisi” ini perlu? Media massa (dalam hal ini koran) bisa salah. Untuk itu mesti ada yang mengontrol. Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang bisa dan mau menjadi pihak “oposisi” dan mengontrol koran?
Televisi mungkin sudah memiliki badan yang bekerja mengontrol tayangan yang ada yaitu Komisi Penyiaran Indonesia. Di luar itu, televisi mendapatkan “masukan lebih” dari koran harian yang sering mengkritik acara-acara yang bagus dan buruk dalam sebuah pemberitaan koran (biasanya Kompas). Atau juga mengungkap sisi lain dari acara-acara di televisi.
Tapi koran sendiri tidak ada yang mengawasi dan mengkritik (kecuali saat ada majalah Pantau). Koran seakan lain. Mereka bebas melenggang seakan tak ada yang mengawasi. Bukan hanya mengawasi isi tapi juga mengawasi kecenderungan sebuah berita terhadap sesuatu. Seakan koran tak memiliki rem yang dikendalikan oleh orang yang ada di luar mereka. Lalu siapa yang bisa mengontrol koran itu sendiri? Pembaca?
Memang pembaca bisa bahkan sangat memungkinkan mengontrol koran dengan memberikan kritik dan saran. Apalagi jika kritik yang dilakukan disertai dengan pemboikotan, tidak membeli koran yang bersangkutan, misalnya. Dan karena sadar oleh rentannya kekeliruan yang bisa terjadi pada pengelola koran atau segala macam penerbitan itulah, maka ada istilah hak jawab dan hak ralat dalam kode etik jurnalistik. Namun nyatanya tidak banyak yang bisa menulis.
Mungkin, alasannya karena pembaca tidak memiliki waktu yang luang untuk menuliskan kritikan itu. Atau mungkin juga malas. Atau mungkin (dan ini bisa saja terjadi) karena pembaca “tidak bisa” menuliskan kritikannya. Menulis dalam arti tidak pandai merangkai kata untuk itu. Kata seorang teman menulis seperti memasak. Semua orang bisa memasak tapi kelezatan masakannya tentu akan berbeda. Seorang super chef akan menghasilkan masakan yang lezat dan mengundang selera karena telah terlatih. Sedangkan anak manja hanya akan menghasilkan masakan yang akan memalukan dirinya sendiri jika dihidangkan pada orang lain.
Maka, untuk menjembatani ketiadaan “oposisi” itu, rasanya perlu segera didengungkan bersama akan baiknya melakukan kontrol terhadap koran. Dan salah satu yang pantas sebagai monitor koran adalah koran juga. Mungkinkah koran mengontrol koran? Tentu saja. Di Amerika Serikat tradisi koran mengkritik koran sudah lumrah terjadi.
Mengapa mesti koran yang mengontrol koran? Alasan sederhana yang bisa dikemukakan adalah bahwa pengelola koranlah yang tahu banyak tentang “jeroan” koran termasuk apa yang baik dan tidak, apa yang pantas dan tidak, dan seterusnya dalam hal penerbitan.
Di sisi lain, ajang saling mengontrol ini akan membuat kompetisi yang sehat antar pengelola koran sehingga akan tercipta saling “memberi obat”. Meski pahit obat akan mengikis “penyakit” yang ada di koran bahkan menghilangkannya.
Masalahnya kemudian, relakah (baca: maukah) pengelola koran-koran itu saling melemparkan kritik satu sama lain? Jangan-jangan ajang saling kritik malah menjadi hal yang dikhawatirkan karena dimaknai dengan saling “serang”. Padahal kritik dalam konteks ini bermaksud untuk meningkatkan kualitas.
Menurut Andreas Harsono, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang pernah mendapat program beasiswa untuk wartawan dari Nieman Foundation di Universitas Harvard, Amerika Serikat, tradisi saling kritik ini sudah lama dilakukan oleh koran di negara yang sudah memiliki tradisi yang tua dalam hal jurnalistik, Amerika. Ini sudah cukup lumrah. Dan Andreas percaya bahwa saling kritik ini untuk menguatkan kepercayaan pembaca kepada koran. Mengapa demikian?
Pertama, dengan saling mengkritik, para pengelola koran akan saling berlomba dalam memperbaiki isi atau penyajian berita untuk pembaca. Dengan sadar akan itu, wartawan, redaktur, dan pemimpin redaksi (pimred) akan lebih menggenjot kualitas. Tidak asal ada berita lalu diterbitkan. Tak hanya mempertanyakan berapa keuntungan bulan ini tanpa bertanya kualitas pemberitaan.
Kedua, tradisi mengkritik ini akan membuka cakrawala pembaca yang belum tahu mana yang dikategorikan oleh pengelola media massa sebagai yang bagus, etis, atau yang buruk dan tidak layak. Dengan begitu pembaca akan tercerahkan.
Jika banyak manfaatnya, rasanya koran mesti memikirkan peluang ini. Inilah tantangan yang mesti dijawab oleh pengelola koran.

Tidak ada komentar: