sumber gambar:http://afandri81.files.wordpress.com/2009/02/label-mui.jpg
Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Malang menelurkan fatwa. Yang dipermasalahkan adalah kreasi Sutradara asal Jerman, Roland Emmerich, yang memproduksi film “2012”. Sebuah film yang menggambarkan tentang kiamat yang akan terjadi pada 2012. Dalam fatwa itu, MUI melarang umat Islam menonton film 2012 karena dianggap telah mendahului ketentuan Allah dalam menetapkan kiamat.
Apakah fatwa yang dikeluarkan MUI memberi efek pada masyarakat? Jawabannya, ya! Tapi senangkah MUI dengan efek yang ditimbulkan? Mungkin tidak. Kenapa? Karena efek yang ditimbulkan dari fatwa itu tidak seperti yang diharapkan. Efeknya malah berbalik 180 derajat dari yang dimaksud MUI. Ibarat pepatah, jauh panggang dari api.
MUI mengharapkan dengan pelarangan itu masyarakat tidak akan menonton film yang terinspirasi dari kalender suku Maya itu, eh, masyarakat malah “membangkang”. Mereka “tertantang” oleh fatwa yang dikeluarkan MUI dan berbondong-bondong antri memasuki bioskop, tempat yang sebelumnya juga dilarang oleh beberapa pemuka agama karena dianggap sebagai tempat maksiat. Karena itulah film 2012 menjadi film terlaris di seluruh dunia termasuk di Indonesia saat ini.
Dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan beberapa masukan bagi MUI yang bisa menjadi pelajaran bersama.
Belajar dari sejarah
Salahkah MUI mengeluarkan fatwa? Mungkin tidak. Hanya saja, sepertinya MUI belum mau belajar dari pengalaman sendiri. Padahal belajar dari pengalaman inilah yang salah satunya ditekankan oleh agama Islam.
Ini bisa disimpulkan dari banyaknya cerita-cerita kaum-kaum masa lalu dalam al-Quran. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebagian besar isi al-Quran adalah kisah bukan hukum. Oleh karena itu, kisah-kisah nabi dan orang-orang sholeh mesti menjadi teladan sedangkan kisah umat-umat terdahulu yang durhaka dan membangkang mesti (juga) dijadikan pelajaran bagaimana tidak mencontohnya agar ke depan kita bisa lebih baik.
Dan berbicara pelajaran untuk MUI, mestinya MUI belajar dari fatwa-fatwanya yang lalu. Mulai dari fatwa mengenai merokok, debus atau yang lainnya.
MUI juga hendaknya belajar dari kasus penyanyi dangdut Inul Daratista yang mendapat cekalan dan larangan yang justru kemudian terbukti semakin meroketkan nama penyanyi asal Pasuruan yang berkarir dari panggung ke panggung itu bukan malah membangkrutkannya.
Siapa yang salah
Entah siapa yang salah. Atau mungkin sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. MUI sebagai “prisai” umat sebetulnya sudah berbuat maksimal dan sudah melakukan hal yang benar. Dalam bahasa agama, MUI telah berijtihad. Keinginan MUI tidak neko-neko: hanya ingin menjaga umat agar tidak melewati batas yang ditolelir agama.
Namun sepertinya sudah menjadi naluri manusia bahwa semakin dilarang semakin menantang dan semakin besar rasa ingin tahu terhadap yang dilarang itu. Semakin penasaran.
Manusia sebagai makhluk yang bebas memang paling tidak tahan pada pelarangan. Baik pelarangan secara fisik maupun psikis. Seperti sebuah bola yang semakin ditekan ke dalam air maka ia akan lebih tinggi meloncat. Dugaan ini dikuatkan oleh beberapa kasus yang sempat menjadi sorotan lantaran mendapatkan pelarangan, salah satunya kasus Inul tadi.
Kalau saja tidak ada pelarangan dari Sang Raja Dangdut, Inul mungkin tidak akan sekondang seperti ini. Dan mungkin tidak akan banyak orang yang menonton goyangan ngebornya yang dianggap erotis dan merusak akhlak itu. Kalau saja tidak ada larangan MUI terhadap film 2012 mungkin tidak akan banyak yang menontonnya.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kesadaran umat tentang pentingnya mendengarkan ulama semakin menipis? Atau umat malah sudah tidak percaya dengan ulama? Atau umat sudah semakin jauh dari ajaran agama? Atau karena status fatwa MUI hanya sebagai anjuran kemudian banyak yang menyepelekan? Rasanya perlu penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Mungkin, ada baiknya MUI mesti mencari jalan lain agar bagaimana fatwa yang dikeluarkan tidak hanya dipatuhi sang pembuat fatwa tetapi juga bisa menggugah kesadaran umat agar mengikutinya. Seperti fatwa-fatwa yang dihasilkan imam-imam terdahulu yang sampai sekarang masih tetap dipegang teguh terutama bagi mereka yang pernah mendapat pendidikan pesantren.
Kembali ke laptop! Eh maksudnya kembali ke masalah fatwa film 2012.
MUI benar jika mengatakan bahwa film 2012 adalah “sesat” karena mendahului ketentuan Tuhan. Tidak ada umat yang ragu kiamat adalah rahasia Tuhan semata. Hanya Dia yang tahu soal yang gaib itu. Jadi, agak mubadzir jika fatwa untuk mempercayai kebenaran film 2012 itu dikeluarkan.
Saya rasa umat sudah pada pintar. Jadi, fatwa juga mestinya menyesuaikan dengan hal itu.
Wallahua’lam bi al-showab!
Kamis, 24 Desember 2009
Pelajaran Bagi MUI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar